THAHARAH


Thaharah menurut bahasa artinya bersih, kebersihan, bersuci, sedangkan menurut istilah adalah suatu kegiatan mensucikan diri dari najis dan hadas sehingga seorang diperbolehkan untuk mengerjakan suatu ibadah yang dituntut harus dalam keadaan suci. Kegiatan bersuci dari najis meliputi menyucikan badan, pakaian, dan tempat, sedangkan bersuci dari hadas dapat dilakukan dengan berwudhu, tayammum dan mandi.

A.  Macam-macam Najis
Najis menurut bahasa artinya kotor. Sedangkan menurut istilah yaitu suatu benda yang kotor yang mencegah sahnya mengerjakan suatu ibadah.  Najis terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.    Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)
Yang termasuk najis mukhaffafah ialah air kencing anak laki-laki yang belum berumur dua tahun dan belum makan atau minum sesuatu kecuali air susu ibunya. Cara menyucikannya ialah dengan memercikkan air pada benda yang terkena najis mukhaffafah tersebut.

2.    Najis Mutawassitah (Najis Sedang)
Najis mutwassitah terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.    Najis ‘Ainiyah, yaitu najis mutawassitah yang masih kelihatan wujud, warna, dan baunya. Cara menyucikan najis ini yaitu dengan menghilangkan najis tersebut dan membasuhnya dengan air sampai hilang, rasa, warna, dan baunya. Yang termasuk naji ini yaitu:
1)   Bangkai binatang kecuali bangkai belalang, dan bangkai ikan.
2)   Darah, jika darah itu sedikit maka dimaafkan seperti darah nyamuk yang melekat dibadan atau pakaian, darah bisul, dan darah karena luka kecil.
3)   Nanah, pada hakikatnya adalah darah yang tidak sehat dan sudah membusuk.
4)   Muntah, tetapi kalau sedikit dapat dimaafkan.
5)   Kotoran manusia dan kotoran hewan.
6)   Arak (khamar), semua minuman keras yang memabukkan.

b.    Najis Hukmiyah, yaitu najis mutawassitah yang diyakini ada, tetapi sudah tidak kelihatan wujud, warna, dan baunya. Contohnya air kencing yang sudah kering yang terdapat padah tubuh atau pakaian. Cara menyucikan najis ini yaitu dengan menggenangi air mutlak pada tempat najis hukmiyah tersebut.

3.    Najis Mugallazah (Najis Berat)
Yang termasuk najis mugallazah ialah air liur serta kotoran anjing dan babi. Cara menyucikan najis ini ialah dengan mencuci najis tersebut sebanyak tujuh kali dengan air, salah satu diantaranya dengan memakai tanah atau debu yang suci. Rasulullah saw. bersabda “sucinya tempat dan peralatan seorang kamu, apabila dijilat anjing hendaklah dicuci tujuh kali, permulaan tujuh kali itu harus dengan tanah atau debu. (HR. Muslim).

B.  Macam-macam Hadas
Hadas adalah keadaan tidak suci bagi seseorang, sehingga menjadikannya tidak sah dalam melakukan ibadah tertentu. Hadas terbagi menjadi dua yaitu:
1.    Hadas Kecil
Yang dimaksud dengan hadas kecil adalah keadaan seorang tidak suci, dan supaya ia menjadi suci maka ia harus berwudhu atau tayammum ketika tidak mendapatkan air atau ada halangan seperti sakit yang menyebakan tidak dapat menyentuh air. Adapun hal-hal yang meyebabkan orang berhadas kecil, yaitu:
a.    Karena keluar sesuatu dari dua lubang yaitu qubul dan dubur. Misalnya buang angina, buang air kecil dan buang air besar.
b.    Karena bersentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan.
c.    Karena menyentuh kemaluan.
d.   Karena hilangnya akal disebabkan tidur, mabuk, ataupun gila.

2.    Hadas Besar
yang dimaksud hadas besar adalah keadaan seorang tidak sucim dan supaya ia suci, maka ia harus mandi junub, jika tidak ada air atau halangan seperti sakit, maka dapat diganti dengan tayammum. Hal-hal yang menyebabkan hadas besar, yaitu:
a.    Bertemunya kelamin laki-laki dan perempuan (bersetubuh).
b.    Keluarnya air mani.
c.    Haid (menstruasi).
d.   Nifas (darah yang keluar dari seorang ibu sehabis melahirkan).
e.    Wiladah (melahirkan anak).

C.  Macam-macam Air
Untuk mempermudah bagi kita dalam berthaharah (menyucikan diri), maka tentu kita harus mengenal macam-macam air yang bisa digunakan untuk bersuci, karena tidak semua air dapat digunakan untuk bersuci. Adapun macam-macam air dibagi menjadi empat, yaitu:
1.    Air Mutlak atau Tahir Mutahhir
Yang dimaksud dengan air mutlak adalah air yang masih asli, belum tercampur dengan sesuatu benda lain dan tidak terkena najis. Air mutlak ini hukumnya suci dan dapat menyucikan. Yang temasuk air mutlak ini, yaitu, air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air dari mata air, air salju (es), dan air embun.

2.    Air Musyammas
Yang dimaksud dengan air musyammas adalah air yang dipanaskan pada terik matahari dalam tempat logam yang dibuat dari seng atau besi, tembaga, baja, aluminium, yang masing-masing benda logam itu berkarat. Air musyammas seperti ini hukumnya makruh. Air ini suci dan menyucikan tetapi makruh dipakai karena dikhawatirkan menimbulkan suatu penyakit. Adapun air dalam logam yang tidak berkarat dan dipanaskan pada terik matahari tidak termasuk air musyammas. Demikian juga air yang terkena panas terik matahari tapi tidak ditempatkan pada logam maka tidak termasuk air musyammas.

3.    Air Musta’mal atau Tahir Gairu Mutahhir
Yang dimaksud dengan air musta’mal adalah air yang suci tapi tidak dapat menyucikan. Misalnya air yang dicampur dengan benda suci lainnya sehingga air itu berubah salah satu sifatnya (warna, rasa, atau baunya). Seperti air teh, kopi, dll. Demikian juga air yang kurang dari dua kulla (270 liter) dan sudah dipergunakan untuk bersuci, atau air yang cukup dua kulla (270 liter) yang sudah dipergunakan untuk bersuci. Dan air buah-buahan atau air yang ada di dalam pohon seperti air dalam pohon bambu, dll

4.    Air mutanajjis
Yang dimaksud air muttanajjis adalah air yang tadinya suci kurang dari dua kullah tetapi karena najis dan telah berubah salah satu sifatnya (warna, bau, dan rasanya). Air seperti ini hukumnnya najis, tidak boleh diminum, tidak sah dipergunakan untuk bersuci. Sebaliknya apabila air itu banya (dua kullah atau lebih) walaupun terkena najis tidak berubah salah satu sifatnya, hukumnya tetap suci dan menyucikan.

HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WAD'I


Hukum Islam pada dasarnya merupakan ketentuan Allah swt. dan sabda Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik bersifat tuntutan maupun penawaran menentukan pilihan atas perbuatan, atau menjadikan sesuatu menjadi sebab, syarat, atau penghalang bagi suatu hukum. Beberapa jenis hukum Islam tersebut secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i.
A.  Hukum Taklifi
1.    Ijabah atau Fardu (Wajib)
Ijabah yaitu hukum yang berisi tuntutan untuk mengerjakan suatu perbuatan yang sifatnya mengikat yang harus dikerjakan dan tidak boleh ditolak. Tuntutan hukum terhadap perbuatan wajib ini sangat keras. Umat Islam harus melaksanakannya dalam keadaan apapun, misalnya sholat ketika tidak mampu dilaksanakan dengan berdiri maka dibolehkan sholat dengan cara duduk, ketika tidak mampu untuk duduk maka diperbolehkan sholat dengan cara berbaring, ketika dalam posisi berbaringpun sulit baginya untuk bergerak maka diperbolehkan sholat dengan menggunakan isyarat atau dengan hati. Contoh lain misalnya diperbolehkannya tidak berpuasa bagi orang sakit, orang tua, wanita hamil, atau orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) dengan ketentuan harus mengganti puasa di kemudian hari (qada) atau membayar fidyah. Jadi dalam kondisi apapun selama masih hidup hal yang wajib tidak boleh ditinggalkan, meninggalkannya termasuk kedalam perbuatan dosa.
Adapun dilihat dari segi menunaikan kewajiban, para ulama ushul fikih membagi ijabah menjadi dua, yaitu:
a.    Wajib mutlak, adalah wajib yang dilaksanakan kapan saja, tidak ditentukan waktunya. Misalnya, kewajiban membayar kafarat bagi orang yang melanggar sumpahnya.
b.   Wajib muakad, adalah kewajiban yang sudah ditentukan waktu pelaksanaannya, misalnya sholat lima waktu dan puasa ramadhan.

Dilihat dari segi jumlah dan ukuran kewajiban yang harus dilaksanakan, wajib dibagi menjadi dua, yaitu:
a.    Wajib muhaddad, adalah kewajiban yang jumlah dan ukurannya sudah ditentukan secara pasti oleh syara’ (hukum Islam). Misalnya, jumlah rakaat sholat, dan ukuran zakat.
b.   Wajib gairu muhaddad, adalah kewajiban yang jumlah atau ukurannya tidak ditentukan secara pasti oleh syara’. Misalnya, kewajiban mengeluarakan infak.

Dilihat dari segi boleh tidaknya memilih dalam melaksanakan kewajiban, wajib dibagi menjadi dua, yaitu:
a.    Wajib mua’yyan, adalah kewajiban yang telah ditentukan secara pasti wujud dan bentuk perbuatannya. Misalnya, sholat lima waktu, zakat, puasa, dan haji.
b.    Wajib mukhayyar, adalah kewajiban yang dalam pelaksanaannya boleh memilih salah satu alternative dari beberapa pilihan. Misalnya, dalam melaksanakan kewajiban membayar kafarat karena melanggar sumpah, seorang mukalaf boleh memilih antara memberi makan 10 orang fakir miskin, memberi pakaian, atau memerdekakan seorang hamba sahaya.

2.    Nadab atau Sunnah (Menganjurkan untuk Dilakukan)
Nadab adalah hukum yang berisi tuntutan untuk mengerjakan suatu perbuatan, namun sifatnya tidak mengikat, ada kelonggaran untuk tidak melaksanakannya. Dengan kata lain perbuatan itu sunnah atau mandub, yang berarti mendapat pahala jika dikerjakan, tetapi tidak mendapat siksa jika ditinggalkan.
Para ulama ushul fikih membagi nadab atau sunnah menjadi tiga bagian, yaitu:
a.    Sunnah muakad, adalah suatu perbuatan yang sangat penting, sangat dianjurkan untuk dilaksanakan, tetapi jika tidak dilaksanakan tidak berdosa. Misalnya sholat witir 3 rakaat sebelum tidur jika tidak bisa 3 rakaat maka boleh 1 rakaat.
b.   Sunnah za’idah, adalah perbuatan yang dianjurkan Rasulullah saw. untuk mengerjakannya. Namun Rasulullah sendiri kadang-kadang meninggalkannya. Misalnya puasa sunnah senin dan kamis.
c.    Sunnah mustahab dan fadillah (keutamaan), adalah suatu perbuatan yang dituntut sebagai penambah kesempurnaan amal perbuatan mukalaf. Misalnya, cara Rasulullah saw. ketika makan, minum, dan berpakaian, dengan maksud memperlihatkan kecintaan kepada Rasulullah saw.

3.    Tahrim (Haram)
Tahrim adalah hukum yang berisi tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan yang dilarang oleh Allah swt. Orang yang meninggalkan perbuatan yang dilarang tersebut akan mendapat pahala sedangkan yang mengerjakannya akan mendapat siksa.
Menurut ulama fikih, haram terbagi menjadi dua, yaitu:
a.    Haram lizatihi, adalah perbuatan yang keharamannya sudah ditentukan sejak awal karena secara tegas mengandung kerusakan. Contohnya antala lain, berizina, mencuri, meminum khamar, membunuh, makan daging babi, memakan harta anak yatim, dll.
b.    Haram li’ardihi, adalah perbuatan yang pada mulanya tidak diharamkan, kemudian ditetapkan haram karena ada sebab lain. Misalnya, sholat dengan memakai pakaian hasil dari mencuri. Pada mulanya sholat sah selama memenuhi syarat dan rukunnya. Namun, karena ada hal lain seperti memakai pakaian hasil curian, maka hukumnya menjadi haram.

4.    Karahah (Makruh)
Karahah adalah hukum yang berisi tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan, namun sifatnya tidak mengikat, ada kelonggaran untuk melakukannya. Bagi orang yang meninggalkan perbuatan makruh tersebut akan mendapat pahala, sedangkan bagi yang mengerjakannya tidak berdosa atau tidak mendapat siksa. Misalnya menghambur-hamburkan harta tanpa tujuan yang mulia dan tertawa terbahak-bahak.

5.    Ibahah (Kebebasan)
Ibahah adalah hukum Allah yang memberikan kebebasan kepada mukalaf untuk boleh mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan ibahah disebut juga mubah atau hukum takhyir (pilihan). Ketentuan ibahah ini tidak dikenakan sanksi bagi pelakunya.

B.  Hukum Wad’i
Hukum wad’i  ialah hukum syar’i yang menjadikan duan hal berkaitan menjadi satu dan salah satunya menjadi sebab atau syarat atau penghalang bagi yang lain. Jika hukum taklifi merupakan hukum Islam yang dilihat dari segi sifat hukumnya, maka hukum wad’i adalah hukum Islam yang dilihat dari sisi lingkungan suatu perbuatan hukum, sepertinya faktor penyebabnya, faktor penghalangnnya, dan faktor ketergantungannya kepada sesuatu yang lain.
Ada tidaknya beberapa faktor tersebut, bermuara pada keabsahan (sah atau tidaknya) suatu perbuatan. Suatu perbuatan atau ibadah dipandang sah jika memenuhi syarat dan rukunnya, sebaliknya suatu ibadah dipandang fasad atau batal, jika syarat dan rukunnya tidak terpenuhi.
Hukum wad’i terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.    Sabab, yaitu suatu ketentuan yang menjadikan adanya suatu hukum dan dengan tidak adanya sesuatu itu menjadi lenyap suatu hukum. Misalnya, nikah menjadi sebab adanya hak mewarisi antar suami istri, sedangkan talak menjadi sebab hilangnya hak antara suami dan istri.
2.    Syarat, adalah sesuatu yang karenanya baru ada hukum dan dengan ketiadaannya menjadikan tidak ada hukum. Misalnya, haul (genap satu tahun) adalah syarat wajibnya zakat harta perniagaan, tidak adanya haul maka tidak adapula kewajiban zakat.
3.    Mani’ (penghalang), adalah suatu keadaan atau peristiwa yang menghalangi berlakunya suatu hukum. Misalnya, adanya perbedaan agama antara orang yang diwarisi dan orang yang mewarisi, maka keduanya tidak berhak saling mewarisi walaupun sebab untuk mewarisi suda ada, yaitu hubungan darah. Namun berlainan agama menjadi penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan harta warisan. Contoh lain terhalangnya suatu warisan atas seorang pembunuh.