Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih

A. Pengertian Fikih
Fikih (الفقه) adalah bahasa Arab dalam bentuk mashdar (kata dasar) yang fi’il-nya (kata kerjanya) adalah فقه  يفقه  فقها. Kata fiqh semula berarti العلم (pengetahuan) dan  الفهم (pemahaman). Secara istilah (terminologi), fiqh didefinisikan secara eksklusif yang terbatas pada hukum-kuhum yang praktis (‘amali) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili). Definisi tersebut bisa dilihat berikit ini:
Imam Abu Zahrah mengatakan bahwa al-Fiqh adalah:
العلم  بالأحكام  الشرعية  العملية  من  أدلتها التفصيلية
“Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali)yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”.
Abdul Wahab Khalaf mengemukakan bahwa al-Fiqh adalah:
العلم  بالأحكام  الشرعية  العملية  المكتسبة   من  أدلتها التفصيلية
 “Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali) yang diusahakan dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”.
Lebih jelas lagi imam Abu Hamid al-Ghazali (wafat tahun 5O5 H) mendefinisikan al-Fiqh sebagai ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang ditetapkan secara khusus bagi perbuatan-perbuatan para manusia (mukallaf) seperti wajib, haram, mubah, sunnah, makruh, perikatan yang sahih (sah), perikatan yang fasid (rusak) dan yang batal, serta menerangkan tentang ibadah yang dilaksanakan secara qada’(pelaksanaannya di luar ketentuan waktunya) dan hal-hal lain semacamnya.
Jadi, hukum-hukum syara’ yang praktis yang lahir sebagai hasil dari dalil-dalil yang terperinci itu dinamakanal-Fiqh, baik ia dihasilkan dengan melalui ijtihad ataupun secara langsung hasil pemahaman terhadap teks al-Qur’an dan as-Sunnah. Jelaslah bahwa hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah dan akhlak tidak termasuk dalam pembahasan ilmu fiqih.
B. Pengertian Ushul Fikih
Pengertian Ushul Fikih dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari’ah. Dilihat dari tata bahasa (Arab), Kata Ushuladalah kata jamak dari ashl (أصل) artinya landasan untuk membangun (pondasi) berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Sedangkan menurut istilah,ashl dapat berarti dalil,Kata fiqh secara bahasa memiliki pengertian al-fahm (الفهم) atau faham. Dengan demikian, fiqh menurut pengertian bahasa menyangkut pemahaman yang diperoleh melalui proses berfikir yang mendalam, bukan sekedar tahu atau mengerti. Tidak semua proses berpikir adalah memahami karena memahami adalah tingkatan tertinggi dalam berpikir. Jadi, fiqh adalah hasil berpikir yang mendalam. Maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.
Secara singkat pengertian ushul fiqh sebagaimana diberikan oleh Imam Ibnu Hajib al-Maliki adalah:
 العِلْمُ بِِِالْقَوَاعِدِ الَّتِي يَتَوَصَّلُ بِهَا اِلَى اِسْتِنِْبَاطِ الْأَحْكَامِ الشََّرْعِيِّةِ الفَرْعِيَّةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التًّفْصِيْلِيَّةِ
“Mengetahui kaidah-kadiah yang membawa kepada pengambilan hukum syar‘’ yang cabang dari dalil-dali rinci. 
Berdasarkan kaidah di atas dapat disimpulkan bahwa ushul fiqh adalah “Pengetahuan mengenai kaidah-kaidah atau dalil umum untuk melakukan istimbath (penggalian hukum).” Jadi sasarannya adalah membahas dan membuat kaidah, bukan membahas rincian hukum atau menyimpulkan hukum dari dalil-dalil Alquran dan hadits. Pembahasan mengenai rincian hukum dan pemahaman dalil-dalil rinci Alquran hadits adalah tugas fiqh.Ushul fiqh hanya membahas kaidah-kaidah umumnya saja sehingga tugasushuliyyin hanyalah membuat dan meneliti kaidah ushul.
Contoh:
Ulama ushuliyyin (ahli ushul fiqh) menyatakan sebuah kaidah ushul:
اَلْأَصْلُ فِيْ اْلأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
“Perintah pada dasarnya berarti wajib”
Ketika para ahli fiqh (fukaha) mengkaji surat al-Isra’ ayat 78:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (الإسراء 78)
“Dirikanlah shalat ketika matahari tergelincir sampai terbenamnya mega merah dan (dirikan) shalat saat munculnya fajar. Sesungguhnya fajar itu dapat terlihat.”
Terlihat bahwa perintah tersebut tidak disertai hal-hal yang membuatnya berarti lain selain perintah shalat pada waktu-waktu tertentu. Berdasarkan akidah ushul di atas, perintah tersebut bermakna wajib. Karena itu, ahli fikih memutuskan bahwa perintah shalat pada waktu tertentu bermaksa wajib. Itu berarti ahli fiqh menggunakan kaidah-kaidah yang dikaji dan dirumuskan ahli ushul untuk melakukan penggalian hukum dari Alquran.
C. Ruang Lingkup Kajian Ilmu Fiqih
Pokok bahasan dalam ilmu fiqih ialah perbuatan mukallaf menurut apa yang telah ditetapkan syara’ tentang ketentuan hukumnya. Karena itu dalam ilmu fiqih yang dibicarakan tentang perbuatan-perbuatan yang menyangkut hubungannya dengan Tuhannya yang dinamakan ibadah dalam berbagai aspeknya, hubungan manusia sesamanya baik dalam hubungan keluarga, hubungan dengan orang lain dalam bidang kebendaan dan sebagainya[. Dari hubungan-hubungan tersebut menumbuhkan beberapa pendapat para ulama’ fiqih. menurut para ulama’ fiqih pada umumnya, pokok pembahasan ilmu fiqih terdiri dari empat pembahasan yang sering disebut dengan Rubu’, yaitu:
1.      Rubu’ Ibadat
2.      Rubu’ Muamalat
3.      Rubu’ Munakahat
4.      Rubu’ Jinayat
Ada lagi yang berpendapat tiga saja, yaitu: bab ibadahbab mu’amalatbab ‘uqubat. Menurut Prof. T.M. Hasbi Ashiddieqqi, bila kita perinci lebih lanjut, dapat dikembangkan menjadi delapan pokok pembahasan, yaitu: ibadah, Ahwalusy Syakhshiyyah, Muamalah Madaniyah, Muamalah Maliyah, Jinayah dan ‘Uqubah (pelanggaran dan hukuman), Murafa’ah atau Mukhashamah, Ahkamud Dusturiyyah dan Ahkamud Dualiyah (hukum internasional).
D. Sejarah Perkembangan Ilmu Ushul Fikih dan Ilmu Fikih
     Para ahli membagi sejarah perkembangan ilmu ushul fikih dan fikih kepada beberapa periode yaitu:
a.      Zaman Rasulullah
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal sewaktu beliau diutus oleh Rasul.Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
“Sesungguhnya Rasulullah Saw mengutus Mu’adz ke Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?, ia jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi)
Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran, kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat berijtihad. Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah.
Selain dalam bentuk anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri pada dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai berikut:
ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.”
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudhu dan ada yang tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad dua sahabat tersebut.
Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka teruskan puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud). Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana tidak batalnya puasa karena berkumur-kumur.
b.      Zaman Sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah, maka yang berperan besar dalam pembentukan hukum islam adalah para sahabat nabi. Periode ini dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 50 H. Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri. Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma sahabat dan maslahat mursalah.
Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima. Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqih sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan pertimbangan maslahah tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Al-qur’an dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan diwaktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya. Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh Al-qur’an dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru”
Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya dengan suci. Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Memang, semenjak masa sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya. Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
c.       Zaman Tabi’in
Pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah. Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan hukum dalam berijtihad. Demikian pula dengan semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami nash-nash syara’ sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau datangnya nash-nash tersebut. Pada masa tabi’in, permasalahan hukum yang muncul pun semakin kompleks. Para tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam.
 E. Tahap-tahap Perkembangan Usul Fiqih dan Fikih
secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu:
1.      Tahap awal (abad 3H)
Pada abad 3 H di bawah pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian timur. Khalifah-khalifah yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma’mun(wafat 218H), Al-Mu’tashim(wafat 227H), Al Wasiq(wafat 232H), dan Al-Mutawakil(wafat 247H) pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari kekhalifahan Arrasyid. Salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqih yang pada giliranya mendorong untuk disusunya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqih.
Seperti telah dikemukakan, kitab ushul fiqih yang pertama-tama tersusun seara utuh dan terpisah dari kitab-kitab fiqih ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi’i. Kitab ini dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata “kedudukan As-Syafi’i dalam ushul fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud”. Ulama sebelum As-Syafi’i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqih dan menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari’at dan cara memegangi dan cara mentarjihkanya maka datanglah Syafi’i menyusun ilmu ushul fiqih yang merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil syar’i, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu ushul fiqh sesudah As-Syafi’i, mereka tetap bergantung pada Asy-Syafi’i karena Asy-Syafi’ilah yang membuka jalan untuk pertama kalinya.
Selain kitab Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushul fiqh lainya. Isa Ibnu Iban(wafat 221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, ijtihad ar-ra’yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (wafat 221H\835M) menulis kitab An-Nakl dan sebagainya.
Namun perlu diketahui pada umumnya kitab ushul-fiqh yang ada pada abad 3H ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para Fuqaha pada zaman itu.
2.      Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad(4H) merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abassiyah dalam bidang politik. Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing penguasa daulah itu berusaha memajukan negerinya dengan memperbanyak kaum intelektual.
Khusus dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya aliran-aliran fiqh semakin mantap eksitensinya, apa lagi disertai fanatisme dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya, dengan melakukan usaha antara lain:
a.      Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut ulama takhrij
b.      Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah
Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah khilafiyah, mereka menyusun kitab al-khilaf. Sebagai tanda berkembangnya ilmu ushul fiqih dalam abad 4 H ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karya ulama-ulama fiqh diantara kitab yang terkenal adalah:
a.      Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi(wafat 340H)
b.      Kitab Al Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (wafat 305H)
c.       Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
d.      Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada abad 4 H yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
Selain itu Materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul fi al ushul karya abu baker ar-razi hal ini merupakan corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada awal abad 4H, juga tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiran yang bercorak filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul fiqih.
3.      Tahap Penyempurnaan ( 5-6 H )
Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban, hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya, antara lain Al-Baqilani, Al-Qhandi, abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain. Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul fiqih yang tidak ada bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman , itulah sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hari senantiasa menunjukan minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran.
Dalam sejarah pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan periode penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih selanjutnya. Kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab ushul fiqih bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan adanya aliran ushul fiqih, yakni aliran hanafiah yang dikenal dengan aliran fuqaha, dan aliran Mutakalimin.
E. Pembukuan Ushul Fiqih
Salah satu yang mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqih. Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqih ialah Imam Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqih dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqih yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqih.
Pada periode ini, metode penggalian hukum juga bertambah banyak, baik corak maupun ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau menggunakan fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan bahwa mereka sederajat dengan dirinya. Imam Maliki setelah al-Quran dan Hadis lebih banyak menggunakan amal (tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah mursalah.
Pada periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia memulai menyusun metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyusunannya ini, Imam Syafi’i bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran fiqih yang bermacam-macam.
Berbekal pengalaman beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik (ulama Madinah), Imam Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah menjadikannya seorang yang berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih, yang diberi nama “al-Risalah”.
F. Ruang Lingkup Ushul Fikih
a.
Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
b.
Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
c.
Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
d.
Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
e.
Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
f.
Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
g.
Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.