Hukum
Islam pada dasarnya merupakan ketentuan Allah swt. dan sabda Nabi Muhammad saw.
yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik bersifat tuntutan maupun
penawaran menentukan pilihan atas perbuatan, atau menjadikan sesuatu menjadi
sebab, syarat, atau penghalang bagi suatu hukum. Beberapa jenis hukum Islam
tersebut secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum
wad’i.
A. Hukum Taklifi
1.
Ijabah
atau Fardu (Wajib)
Ijabah yaitu hukum yang berisi tuntutan untuk mengerjakan suatu
perbuatan yang sifatnya mengikat yang harus dikerjakan dan tidak boleh ditolak.
Tuntutan hukum terhadap perbuatan wajib ini sangat keras. Umat Islam harus
melaksanakannya dalam keadaan apapun, misalnya sholat ketika tidak mampu
dilaksanakan dengan berdiri maka dibolehkan sholat dengan cara duduk, ketika
tidak mampu untuk duduk maka diperbolehkan sholat dengan cara berbaring, ketika
dalam posisi berbaringpun sulit baginya untuk bergerak maka diperbolehkan
sholat dengan menggunakan isyarat atau dengan hati. Contoh lain misalnya
diperbolehkannya tidak berpuasa bagi orang sakit, orang tua, wanita hamil, atau
orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) dengan ketentuan harus mengganti
puasa di kemudian hari (qada) atau membayar fidyah. Jadi dalam kondisi apapun
selama masih hidup hal yang wajib tidak boleh ditinggalkan, meninggalkannya
termasuk kedalam perbuatan dosa.
Adapun dilihat dari segi menunaikan kewajiban, para ulama ushul
fikih membagi ijabah menjadi dua, yaitu:
a.
Wajib
mutlak, adalah wajib yang dilaksanakan kapan saja, tidak ditentukan
waktunya. Misalnya, kewajiban membayar kafarat bagi orang yang melanggar
sumpahnya.
b.
Wajib
muakad, adalah kewajiban yang sudah ditentukan waktu pelaksanaannya,
misalnya sholat lima waktu dan puasa ramadhan.
Dilihat dari segi jumlah dan ukuran kewajiban yang harus
dilaksanakan, wajib dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Wajib
muhaddad, adalah kewajiban yang jumlah dan ukurannya sudah ditentukan secara
pasti oleh syara’ (hukum Islam). Misalnya, jumlah rakaat sholat, dan ukuran
zakat.
b.
Wajib
gairu muhaddad, adalah kewajiban yang jumlah atau ukurannya tidak ditentukan secara
pasti oleh syara’. Misalnya, kewajiban mengeluarakan infak.
Dilihat
dari segi boleh tidaknya memilih dalam melaksanakan kewajiban, wajib dibagi
menjadi dua, yaitu:
a.
Wajib mua’yyan,
adalah kewajiban yang telah ditentukan secara pasti wujud dan bentuk
perbuatannya. Misalnya, sholat lima waktu, zakat, puasa, dan haji.
b.
Wajib mukhayyar,
adalah kewajiban yang dalam pelaksanaannya boleh memilih salah satu alternative
dari beberapa pilihan. Misalnya, dalam melaksanakan kewajiban membayar kafarat
karena melanggar sumpah, seorang mukalaf boleh memilih antara memberi makan 10
orang fakir miskin, memberi pakaian, atau memerdekakan seorang hamba sahaya.
2.
Nadab
atau Sunnah (Menganjurkan untuk Dilakukan)
Nadab adalah hukum yang berisi tuntutan untuk mengerjakan suatu
perbuatan, namun sifatnya tidak mengikat, ada kelonggaran untuk tidak
melaksanakannya. Dengan kata lain perbuatan itu sunnah atau mandub, yang
berarti mendapat pahala jika dikerjakan, tetapi tidak mendapat siksa jika
ditinggalkan.
Para ulama ushul fikih membagi nadab atau sunnah menjadi tiga
bagian, yaitu:
a.
Sunnah
muakad, adalah suatu perbuatan yang sangat penting, sangat dianjurkan
untuk dilaksanakan, tetapi jika tidak dilaksanakan tidak berdosa. Misalnya sholat
witir 3 rakaat sebelum tidur jika tidak bisa 3 rakaat maka boleh 1 rakaat.
b.
Sunnah
za’idah, adalah perbuatan yang dianjurkan Rasulullah saw. untuk mengerjakannya.
Namun Rasulullah sendiri kadang-kadang meninggalkannya. Misalnya puasa sunnah
senin dan kamis.
c.
Sunnah
mustahab dan fadillah (keutamaan), adalah suatu perbuatan yang dituntut
sebagai penambah kesempurnaan amal perbuatan mukalaf. Misalnya, cara Rasulullah
saw. ketika makan, minum, dan berpakaian, dengan maksud memperlihatkan
kecintaan kepada Rasulullah saw.
3.
Tahrim
(Haram)
Tahrim adalah hukum yang berisi tuntutan untuk tidak mengerjakan
suatu perbuatan yang dilarang oleh Allah swt. Orang yang meninggalkan perbuatan
yang dilarang tersebut akan mendapat pahala sedangkan yang mengerjakannya akan
mendapat siksa.
Menurut ulama fikih, haram terbagi menjadi dua, yaitu:
a.
Haram lizatihi,
adalah perbuatan yang keharamannya sudah ditentukan sejak awal karena secara
tegas mengandung kerusakan. Contohnya antala lain, berizina, mencuri, meminum
khamar, membunuh, makan daging babi, memakan harta anak yatim, dll.
b.
Haram li’ardihi,
adalah perbuatan yang pada mulanya tidak diharamkan, kemudian ditetapkan haram
karena ada sebab lain. Misalnya, sholat dengan memakai pakaian hasil dari
mencuri. Pada mulanya sholat sah selama memenuhi syarat dan rukunnya. Namun,
karena ada hal lain seperti memakai pakaian hasil curian, maka hukumnya menjadi
haram.
4.
Karahah
(Makruh)
Karahah adalah hukum yang berisi tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu
perbuatan, namun sifatnya tidak mengikat, ada kelonggaran untuk melakukannya. Bagi
orang yang meninggalkan perbuatan makruh tersebut akan mendapat pahala,
sedangkan bagi yang mengerjakannya tidak berdosa atau tidak mendapat siksa. Misalnya
menghambur-hamburkan harta tanpa tujuan yang mulia dan tertawa terbahak-bahak.
5.
Ibahah
(Kebebasan)
Ibahah adalah hukum Allah yang memberikan kebebasan kepada mukalaf
untuk boleh mengerjakan atau meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan ibahah
disebut juga mubah atau hukum takhyir (pilihan). Ketentuan ibahah ini
tidak dikenakan sanksi bagi pelakunya.
B. Hukum Wad’i
Hukum wad’i ialah hukum syar’i
yang menjadikan duan hal berkaitan menjadi satu dan salah satunya menjadi sebab
atau syarat atau penghalang bagi yang lain. Jika hukum taklifi merupakan hukum
Islam yang dilihat dari segi sifat hukumnya, maka hukum wad’i adalah hukum
Islam yang dilihat dari sisi lingkungan suatu perbuatan hukum, sepertinya
faktor penyebabnya, faktor penghalangnnya, dan faktor ketergantungannya kepada
sesuatu yang lain.
Ada tidaknya beberapa faktor tersebut, bermuara pada keabsahan (sah
atau tidaknya) suatu perbuatan. Suatu perbuatan atau ibadah dipandang sah jika
memenuhi syarat dan rukunnya, sebaliknya suatu ibadah dipandang fasad atau
batal, jika syarat dan rukunnya tidak terpenuhi.
Hukum wad’i terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1.
Sabab, yaitu suatu
ketentuan yang menjadikan adanya suatu hukum dan dengan tidak adanya sesuatu
itu menjadi lenyap suatu hukum. Misalnya, nikah menjadi sebab adanya hak
mewarisi antar suami istri, sedangkan talak menjadi sebab hilangnya hak antara
suami dan istri.
2.
Syarat, adalah
sesuatu yang karenanya baru ada hukum dan dengan ketiadaannya menjadikan tidak
ada hukum. Misalnya, haul (genap satu tahun) adalah syarat wajibnya zakat harta
perniagaan, tidak adanya haul maka tidak adapula kewajiban zakat.
3.
Mani’
(penghalang), adalah suatu keadaan atau peristiwa yang menghalangi berlakunya
suatu hukum. Misalnya, adanya perbedaan agama antara orang yang diwarisi dan
orang yang mewarisi, maka keduanya tidak berhak saling mewarisi walaupun sebab
untuk mewarisi suda ada, yaitu hubungan darah. Namun berlainan agama menjadi
penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan harta warisan. Contoh lain
terhalangnya suatu warisan atas seorang pembunuh.
0 komentar:
Posting Komentar
Segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan.