Ketentuan Pokok Perkawinan dalam Islam

 A.    Syarat Wali dan Saksi Nikah

Akad nikah tidak sah, kecuali ada seorang wali dan dua orang saksi yang jujur. Allah berfirman dalam QS. at-Talaq/65: 2:

فَاِذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَاَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ فَارِقُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ وَّاَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنْكُمْ وَاَقِيْمُوا الشَّهَادَةَ لِلّٰهِ ۗذٰلِكُمْ يُوْعَظُ بِهٖ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ەۗ وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ

2.  Maka apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya,

 

Wali dan saksi merupakan syarat sah pernikahan. Oleh karena itu, tidak semua orang berhak menjadi wali dan saksi, orang yang dapat menjadi wali dan saksi adalah sebagai berikut:

1.      Islam

2.      Balig (sudah berumur sedikitnya 15 tahun)

3.      Berakal

4.      Merdeka

5.      Laki-laki

6.      Adil

 

B.     Syarat Ijab dan Kabul

Ijab kabul pernikahan adalah rukun yang harus dipenuhi saat akad pernikahan. Ijab dan kabul harus jelas dan beruntun, tidak berselang waktu. Mengenai pelaksanaan  ijab kabul, imam syafi’i memberikan beberapa ketentuan yang terhimpun dalam syarat sah sigat akad nikah, yaitu:

1.      Antara ijab dan kabul tidak tersisipi kata-kata yang bukan termasuk akad;

2.      Antara ijab dan kabul tidak tersisipi sikap diam yang cukup lama;

3.      Antara ijab dan kabul menunjukkan pengertian yang dipahami bersama;

4.      Tidak menggantungkan pada sesuatu;

5.      Tidak dibatas waktu;

6.      Tidak ada perubahan kata yang menunjukkan keragu-raguan, ketidakpastian terjadinya pernikahan;

7.      Diucapkan sehingg didengar oleh orang yang berada di belakang;

8.      Sampai dengan ijab kabul selesai keduanya harus tetap dalam keadaan layak secara hukum.

 

C.    Hukum Mahar

Mahar dikenal dengan istilah maskawin atau pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahi di saat akad nikah berlangsung, sejumlah benda atau barang tertentu, sesuai dengan kemampuan laki-laki. Allah swt. berfirman dalam QS. an-Nisa/4: 4:

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا

4.  Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.

 

Memberikan mahar bagi laki-laki kepada perempuan yang dinikahi adalah wajib, tetapi tidak menjadi rukun nikah. Apabila mahar tidak disebutkan pada waktu akad nikah, pernikahan itu tetap sah.

Banyaknya jumlah mahar tidak ditentukan dengan jelas atau dibatasi oleh syariat Islam, melainkan menurut kemampuan suami beserta keridhoaan istri. Meskipun tidak dibatasi waktu dan jumlah besar atau kecilnya, mahar tetap harus dibayar dan menjadi utang jika tidak dibayar setelah diucapkan. Ketentuan bagi suami yang menceraikannya istrinya sebelum bercampur (jima’) adalah wajib membayar seperdua dari mahar jika jumlah mahar itu telah ditetapkan oleh suami atau hakim. Allah swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah/2: 237:

وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلَّآ اَنْ يَّعْفُوْنَ اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۗ وَاَنْ تَعْفُوْٓا اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۗ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

237.  Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan Maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan, kecuali jika mereka (membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada di tangannya. Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

 

D.    Hukum Walimah

Kata walimah biasa berlaku untuk acara kegembiraan karena pernikahan atau disebut walimah pernikahan. Walimah dalam hukum Islam, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang berpendapat walimah itu wajib. Ada sebagian yang mengatakan bahwa walimah boleh-boleh saja dan seandainya tidakpun boleh. Artinya, jika dilaksanakan akan sangat baik dan jika tidak dilaksanakan, tidak dosa baginya. Ketentuan walimah itu wajib berdasarkan hadis Rasulullah saw. “Adakanlah walimahan walaupun hanya dengan seekor kambing” (HR. Al-Bukhari)

Menghadiri acara walimah jika diundang wajib berdasarkan ketentuan hadi Rasulullah saw. “barangsiapa yang diundang walimah, hendaklah ia datang.” (HR. Al-Bukhari). Adapun syarat wajib menghadiri walimah adalah sebagai berikut:

1.      Undangan harus bersifat umum bagi semua keluarga, tetangga, atau teman-teman satu pekerjaan, baik kaya maupun miskin. Jadi tidak khusus untuk satu kelompok, sementara kelompok lain tidak diundang, atau khusus bagi orang-orang kaya tanpa mengundang orang-orang miskin.

2.      Undangan disampaikan sendiri secaran lisan, tulisan, atau dapat mengutus orang lain.

3.      Dalam walimah, tidak ada yang merasa diremehkan. Semua harus ditempatkan dalam derajat yang sama. Tidak ada kaya dan miskin, pejabat atau bukan pejabat. Semua tamu undangan memiliki kehormatan.

4.      Dalam pesta walimah tidak diperkanankan ada perbuatan kemungkaran.

5.      Yang mengundang adalah orang Islam. Jika yang mengndang bukan orang Islam maka tidak wajib menghadirinya.

Pernikahan dalam Islam

 A.    Pengertian Pernikahan

Katah nikah berasal dari bahasa arab yang berarti bergaul, bercampur, menghimpun, atau mengumpulkan. Dalam arti fikih, nikah adalah akad yang menghalalkan hubungan laki-laki dan perempuan dalam ikatan suami istri. Tujuan pernikahan dalam Islam adalah membentuk keluarga yang rukun, damai, serta penuh kasih sayang untuk mendapat keturunan yang sah. Dasar hukum disyariatkannya pernikahan adalah firman Allah swt. dalam QS. ar-Rum/30: 21:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

21.  Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.

 

Dan dalam hadis Nabi Muhammad saw. “wahai para pemuda barang siapa diantara kamu mampu menanggung biaya, maka hendaklah menikah, karena sesungguhnya nikah itu dapat menutup pandangan mata (maksiat) dan dapat memelihara kemaluan (dari maksiat) dan barang siapa yang tidak sanggup maka berpuasalah karena puasa itu dapat melemahkan syahwat.” (HR. Al-Bukhari)

Pernikahan merupakan suatu akad yang mengandung beberapa hukum dan syarat rukun nikah. Keabsahan rukun nikah dibutuh empat hal, yaitu sigat, wali, dua orang saksi, dan mahar.

1.      Sigat akad nikah, adalah ucapan calon suami atau wakilnya pada saat akad nikah

2.      Wali, ayah kandung perempuan, penerima wasiat, kerabat dekat dan seterusnya sesuai dengan urutan dari ahli waris perempuan tersebut, orang bijak dari keluarga perempuan, atau pemimpin setempat. Rasulullah saw. bersabda “tidak ada nikah kecuali dengan wali” (HR. Abu Dawud dari Abu Musa: 1785)

3.      Dua orang saksi, adalah akad nikah harus dihadiri dua orang saksi atau lebih dari laki-laki yang adil dari kaum muslimin.

4.      Mahar, adalah pemberian susuatu dari calon suami kepada calon istri pada saat akad nikah. Hukum mahar adalah wajib berdasarkan firman Allah dalam QS. an-Nisa/4: 4:

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا

 

4.  Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.

 

B.     Pengertian dan Hukum Khitbah

Meminang (khitbah) adalah menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantara seorang yang dipercaya. Ketentuan mengenai khitbah berdasarkan pada hadis Rasulullah saw. “apabila salah satu dari kamu sekalian meminang wanita maka jika ia dapat melihat sesuatu darinya (calon istrinya) untuk menikahinya yang dapat membawanya (mendukungnya) untuk menikahinya, lakukanlah!” (HR. Ahmad)

Dilarang meminang seorang selagi dalam pinangan orang lain atau meminang i’dah raj’iyah. Maksudnya, janda yang masih berstatus sebagai istri bagi laki-laki yang menceraikannya karena masih ada usaha untuk mempersatukannya kembali. Bagi janda yang belum habis masa iddah, meminangnya cukup dengan sindirian saja. Meminang janda dengan sindiran berdasarkan firman Allah swt. dalam QS. al-Baqarah/2: 235:

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا عَرَّضْتُمْ بِهٖ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاۤءِ اَوْ اَكْنَنْتُمْ فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ سَتَذْكُرُوْنَهُنَّ وَلٰكِنْ لَّا تُوَاعِدُوْهُنَّ سِرًّا اِلَّآ اَنْ تَقُوْلُوْا قَوْلًا مَّعْرُوْفًا ەۗ وَلَا تَعْزِمُوْا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتّٰى يَبْلُغَ الْكِتٰبُ اَجَلَهٗ ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوْهُ ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ حَلِيْمٌ ࣖ

235.  Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa idahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.

 

Adapun larangan meminang perempuan dalam pinangan orang lain disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad saw. “tidak halal bagi seorang muslim perempuan yang sedang dipinang oleh saudaranya sehingga nyata sudah ditinggalkan” (HR. Ahmad). Adapun Dalam hal meminang, melihat perempuan adalah dibolehkan, baik oleh dirinya sendiri maupun mewakilkan kepada orang lain. Kebolehan itu untuk menghindari sesuatu yang cacat di antara keduanya yang berakibat putusnya pernikahan setelah perminangan. Ketentuan kebolehan laki-laki melihat perempuan yang akan dipinangnya umumnya muka dan telapak tangan saja. Boleh juga dilakukan dengan mengutus wanita terpercaya untuk melihat seluruh tubuh perempuan yang ingin dipinang, kecuali antara pusat dan lutut. Disyariatkannya ketentuan meminang adalah untuk menjaga hal-hal negatif yang ditmbulkan darinya.

 

C.    Mahram Nikah

Mahram nikah adalah larangan menikah bagi laki-laki kepada perempuan-perempuan yang secara syara’ terlarang untuk dinikahi. Seorang perempuan haram dinikahi karena tigal hal, yaitu:

1.      Perempuan haram dinikahi karena hubungan kerabat, ada tujuh orang, sebagaiaman dijelaskan dala QS. an-Nisa/4: 23:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا ۔

23.  Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

 

2.      Haramnya perempuan dinikahi karena sesusuan. Akibatnya, diharamkan menikah dengan dua orang perempuan, yaitu ibu yang disusui dan saudara perempuan yang sama-sama menyusu.

3.      Haram dinikahi karena hubungan pernikahan. Ada empat orang yang termasuk di dalamnya, yaitu ibu mertua dari jalur nasab maupun dari jalur susuan, anak tiri perempuan baik dari jalur nasab atau dari jalur susuan, istri bapak dan istri kakek baik dari jalur ayah maupun ibu, baik dari jalur nasab maupun susuan, dan istrinya anak-anak atau anaknya anak laki-laki.

 

D.    Hikmah Pernikahan

Diantara hikma pernikahan adalah membentuk keteladanan bermasyarakat. Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan bukan saja merupakan jalan untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara kaum dan kaum lain yang beda jenis. Pernikahan akan menjadi jalan untuk memperluas kerabat dan keluarga untuk memberi banyak pertolongan antara satu dan lainnya.

Pernikahan tidak sekedar memenuhi hasrat seksual antara pria dan wanita. Akan tetapi, pernikahan merupakan ikatan yang mendidik manusia agar saling menghargai hak-hak dan kewajiban sebagai manusia. Pria dididik untuk dapat berlaku adil dan sabar. Demikian juga, perempuan dididik untuk menjadi perempuan sholihah. Tali pernikahan membawa seorang semakin dekat dengan Allah swt. karena segala tingkah laku kedua pasangan suami istri memberikan pelajaran yang amat berharga dalam membentuk keluarga sakinah.

Unsur-unsur Hukum Islam

 

A.    Hakim

Dipandang dari sisi Hukum Syar’i, yang dimaksud hakim yaitu yang menghukumi atau yang memberikan hukum, yaitu Allah swt, baik melalui firman-Nya maupun melalui sunnah Rasul-Nya. Hakim disebut juga syari’ atau musyarri’ (yang mensyariatkan). Sedangkan dipandang dari sisi peradilah Islam, yang dimaksud hakim adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengadili perkara di antara manusia menurut ketentuan undang-undang yang berlaku, yang bersumber dari hukum Islam. Pengangkatan hakim oleh penguasa karena penguasa tidak mampu melaksanakan lembaga peradilan sendiri. Adapun untuk menjadi hakim di Indonesia, seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1.      Harus warga negara Indonesia;

2.      Beragama Islam;

3.      Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

4.      Setia pada pancasila dan UUD 1945;

5.      Bukan bekas anggota organisasi terlarang;

6.      Pegawai negeri sipil (PNS);

7.      Sarjanah hukum Islam (Syariah);

8.      Berumur serendah-rendahnya 25 tahun;

9.      Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

Sedangkan jika dipandang dari sudut pandang agama maka syarat seorang menjadi hakim adalah sebagai berikut:

1.      Laki-laki yang merdeka;

2.      Berakal;

3.      Beragama Islam;

4.      Adil (beriman dan bertaqwa);

5.      Menguasai segala pokok-pokok hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan cabangnya;

6.      Sehat jasmani dan rohani.

 

B.     Mahkum Fih

Mahkum fih yaitu perbuatan hukum yang dibebankan kepada mukalaf untuk mengerjakannya, seperti sholat, puasa, jual beli dan ibadah-ibadah lainnya. Perbuatan mukallaf itu, baik yang terkait dengan hak Allah (haququllah) maupun yang berkaitan dengan hak manusia (haququl adami), baik yang bersifat wajib, sunnah, haram, makruh, maupun mubah.

 

C.    Mahkum Bih

Mahkum bih yaitu nilai kandungan hukum syar’i yang dibebankan kepada mukallaf atas perbuatan-perbuatan hukum, seperti hukum wajib, sunnah, haram, dan mubah. Mahkum bih harus memenuhi tiga syarat, yaitu sebagai berikut:

1.      Perbuatan itu harus jelas diketahui oleh mukallaf, sehingga dapat melaksanakan sesuai dengan tuntunan syara’. Misalnya kewajiban melaksanakan sholat baru dibebankan sebagai perbuatan hukum setelah ada penjelasan tentang cara pelaksanaannya. Sehingga  ketidaktahuan melaksanakan sholat tidak dikenai hukuman dari Allah swt. tapi ketidaktahuan yang dimaksud bukanlah ketidaktahuan yang disengaja. Jadi kalau kita punya kemampuan untuk belajar agama, namun kita malas untuk belajar dan mencari tahu, maka itu artinya ketidaktahuan kita disengaja dan perbuatan kita akan dikenai hukuman oleh Allah swt.

2.      Harus diketahui oleh mukallaf bahwa taklif (perbuatan yang dibebankan) tersbut berasal dari Allah swt. sehingga dalam mengerjakannya ada ketaatan terhadap Allah swt.

3.      Taklif tersebut merupakan suatu hal yang mungkin dapat dikerjakan oleh mukallaf, bukan perbuatan yang tidak mungkin dikerjakan.

 

D.    Mahkum ‘Alaih

Mahkum ‘alaih adalah mukallaf yang dikenai hukum. Seorang disebut mukallaf karena telah mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah swt. maupun dengan larangannya. Semua perbuatan mukallaf akan dimintai pertanggungjawaban secara hukum oleh Allah swt. baik di dunia maupun di akhirat. Adapun syarat sah mukallaf dikenai beban hukum di antaranya sebagai berikut:

1.      Mampu memahami tuntutan syara’ yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-sunnah.

2.      Balig dan berakal (bukan anak-anak, tidak tuli, pikun, gila).

3.      Seorang harus mampu bertindak hukum, secara ushul fiqih disebut ahliyah. Disebut ahliyah berhubungan dengan kecakapan seseorang dalam bertindak atau ahli dalam bidang tertentu. Artinya, seseorang mampu melaksanakan tindakan hukum dalam bidangnya. Keterangan tersbut memberi pemahaman bahwa ahliyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya sehingga seluruh perbuatannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang masuk kategori ini sah dalam melaksanakan tindakan hukum, seperti transaksi jual beli dan nikah.

Dalam ushul fiqih, ahliyah dibagi menjadi dua, yaitu ahliyah al-ada’ dan ahliyah al wujub.

a.       Ahliyah al-ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum bagi seorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik bersifat positif maupun negatif. Apabila melakukan perbuatan sesuai dengan ketentuan syara’ ia akan mendapat pahala. Apabila tidak melakukannya, ia akan mendapat dosa dari Allah swt.

b.      Ahliyah al-wujud adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, namun belum mampu dibebani seluruh kewajiban. Misalnya, setiap orang berhak menerima hibah, kemudian harta tersebut dirusak orang, ia pun dianggap mampu menerima ganti rugi, di samping mampu untuk menerima harta waris dari keluarganya. Jika seandainya yang menerima hibah tersebut adalah anak kecil, anak kecil tersebut sebatas mampu menerima hibah (sebagai hak), namun tidak mampu mengelola harta yang diberikan kepadanya karena ia masih kecil.