Sumber-sumber
hukum Islam adalah sesuatu yang dipakai untuk menunjukkan hukum syara yang
berkaitan dengan perbuatan manusia melalui jalan yang qat’i ataupun zanni.
Sumber-sumber hukum islam dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama
sumber hukum Islam dipandang dari sisi kesepakatan para ulama dalam menetapkan
sumber hukum, kedua sumber-sumber yang hukum Islam yang tidak disepakati ulama
dalam penerapannya.
1.
Sumber-sumber
Hukum Islam yang Disepakati Ulama
a.
Al-Qur’an
Menurut bahasa, Al-Qur’an berasal dari kata qara’a, yaqra’u,
qur’an yang berarti bacaan atau yang dibaca. Sedangkan menurut istilah
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang merupakan mukjizat, diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. yang ditulis dalam mushaf yang berbahasa Arab, yang telah
dinukilkan kepada kita dengan jalan mutawatir, yang dimulai dengan surah
al-Fatihah, diakhiri dengan surah an-Nas dan membacanya sebagai ibadah.
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. sebagai
petunjuk dan menjadi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia untuk mencapai
keselamatan di dunia dan akhirat. Al-Qur’an memberi penjelasan terhadap segala
keperluan manusia. Tidak ada satupun tata aturan yang dibutuhkan umat manusia
yang tidak terdapat pokok-pokoknya di dalam al-Qur’an.
b.
As-Sunnah
As-Sunnah menurut bahasa artinya jalan atau cara. Sedangkan menurut
istilah As-Sunnah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
saw. berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapannya. Berdasarkan pengertian
tersebut, maka As-Sunnah diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
1)
Sunnah
qauliyah, yaitu sunnah yang berupa perkataan Nabi Muhammad saw.
2)
Sunnah
fi’liyah, yaitu sunnah yang berupa perbuatan Nabi Muahmmad saw.
3)
Sunnah
taqririyah, yaitu sunnah yang berupa ketetapan Nabi Muhammad saw.
Selain tiga klasifikasi tersebut, para ulama fikih menambahkan dua
macam sunnah yang lain, yaitu:
1)
Sunnah
hammiyah, yaitu sesuatu yang sudah diniatkan oleh Nabi Muhammad saw. tetapi
tidak jadi dikerjakan, contohnya Nabi Muhammad saw. ingin berpuasa pada tanggal
9 Muharram tetapi beliau telah wafat sebelum tanggal itu, maka sebagian ulama
menganggap puasa pada tanggal 9 Muharram hukumnya sunnah.
2)
Sunnah
tarkiyah, yaitu sesuatu perbuatan yang dengan jelas para sahabat menerangkan
bahwa Nabi Muhammad saw. meninggalkan perbuatan itu, seperti perkataan sahabat
bahwa Nabi Muhammad saw. tidak memandikan para syuhada Uhud dan tidak
menyalatkannya.
Adapun sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an,
ketetapan hukum As-Sunnah memiliki kedudukan sebagai penguat (ta’kid)
yang mengukuhkan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, seabagai ketetapan
tambahan atas ketentuan Al-Qur’an, berdiri sendiri sebagai tasyri
(pembentukan hukum sendiri) dan juga berkedudukan sebagai penjelas (bayan)
yang bertujuan merinci ketetapan hukum Al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal).
Terdapat beberapa bentuk penjelas As-Sunnah terhadap ketetapan hukum Al-Qur’an,
yaitu:
1)
Bayanul mujmal,
yaitu menjelaskan yang masih global, seperti mengenai tata cara sholat, syarat,
dan rukunnya.
2)
Taqyidul mutlaq, yaitu
membatasi kemutlakannya, seperti ketentuan batas memotong tangan bagi pencuri
dan batas mengusap tangan ketika bertayammum.
3)
Takhsisul am,
yaitu mengkhususkan keumumannya atau mengecualikan (mengeluarkan) sesuatu
masalah hukum dari lingkup umum, seperti hadis tentang “tidak ada waris
mewarisi di antara orang muslim kepada orang kafir”, yang merupakan takhsis
dari QS. an-Nisa’/4: 11.
4)
Taudihul
musykilat, yaitu menjelaskan tentang kemusykilan (kesulitan) pemahaman atas
nas Al-Qur’an. misalnya arti benang putih dan benang merah pada ketentuan
puasa, yang dijelaskan dengan makna siang hari dan malam hari.
c.
Ar-Ra’yu
Ar-Ra’yu (pemikiran atau pendapat), adalah pertimbangan akal
sebagai dasar dalam proses pembentukan atau penetapan hukum Islam dengan tetap
berpijak pada dalil naqli (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Dalam proses penetapan
hukum, aplikasi dari Ar-Ra’yu (dalil aqli) sebenarnya terkumpul dalam satu
istilah yang disebut dengan ijtihad. Oleh karena itu, penggunaan pertimbangan
akal yang dimaksud bukan dalam pengertian yang sebebas-bebasnya, tetapi masih
harus mengikuti kaidah-kaidah dan norma norma dalam ijtihad. Demikian juga
mengenai kualitas ketetapan hukumnya, merupakan ketetapan yang bersifat
ijtihad. Dalam pengertian, selama tidak ada pertentangan dengan sumber pokok
(Al-Qur’an dan As-Sunnah) ketetapan itu dapat diberlakukan. Namun jika ternyata
ada pertentangan dengan sumber pokok maka ketetapan itu tidak dapat
diberlakukan, inilah yang dinamakan sumber pelengkap.
d.
Qiyas
Menurut bahasa qiyas adalah menyamakan, membandingkan, atau
mengukur. Sedangkan menurut istilah qiyas adalah menghubungkan suatu kejadian
yang tidak ada nasnya tentang hukum dengan kejadian yang lain yang sudah ada
nas hukumnya, mengenai hukum yang ada pada nas itu karena ada persamaan illat hukum
dua kejadian tersebut. Definisi tersebut menunjukkan bahwa syarat yang harus
dipenuhi untuk terciptanya qiyas adalah sebagai berikut:
1)
Al-Asl
(pokok), disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabah
bih (yang diserupai), yaitu masalah atau kejadian yang telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan nas Al-Qur’an.
2)
Al-Far’u (cabang),
disebuat juga maqis (yang diukur), musyabbah (yang diserupakan),
yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nas yang
dapat dijadikan sebagai dasar hukum.
3)
Hukmul asl (hukum
asal), hukum dari asal yang telah ditetapkan berdasarkan nas dan hukum itu pula
yang akan ditetapkan pada far’u seandainya ada persamaan illat.
4)
Illatul hukm (motif
hukum), yaitu alasan-alasan yang menghubungkan antara hukum asal dan hukum
cabang.
Sebagai contoh dalam penerapan qiyas dalam penetapan hukum adalah
masalah minum khamar, merupakan perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam
Al-Qur’an. hukum minum khamar adalah haram. Sebagaimana firman Allah dalam QS.
al-Maidah/5: 90. Illat dalam ayat tersebut bahwa pengharaman minuman keras
disebabkan karena memabukkan, menghilangkan akal sehat. Oleh karena itu, setiap
minuman ataupun makanan dan segala jenis obat-obatan yang terdapat illat
memabukkan, maka hukumnya haram, contohnya seperti bir, narkoba, sabu-sabu,
ganja, dan obat-obatan yang telarang lainnya. Baik dimakan, diminum, dihirup,
ataupun disutikkan, selama itu bisa memabukkan dan menghilangkan akal sehat
maka barang tersebut hukumnya haram.
2.
Sumber
Hukum Islam yang Tidak Disepakati
a.
Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang
baik. sedangkan menurut ulama ushul fikih istihsan adalah meninggalkan hukum
yang kuat yang telah ditetapkan pada suatu kejadian berdasarkan dalil syara’,
menuju (menetapkan) hukum lain yang lebih kuat dari kejadian itu juga, karena
ada suatu dali syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dali yang
terakhir disebut sandaran ihtisan.
Dalam praktiknya, istihsan dimaksudkan sebagai upaya meninggalkan
qiyas yang jelas (jail) menuju qiyas yang samar (khafi) untuk
merajihkan ketentuan hukum yang khusus (juz’i) dari ketentuan yang umum (kulli)
karena ada dalil yang menguatkan.
Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa untuk menentukan
dalil yang termasuk istihsan, maka paling tidak terdapat dua ciri, yaitu:
1)
Adanya anggapan
pemakaian qiyas yang illat-nya samar dari qiyas yang illat-nya jelas. Misalnya,
dalam hadis tidak diperbolehkan menjual harta wakaf, namun karena alasan
tertentu, seperti fungsi wakaf tidak ada, maka harta itu boleh dijual untuk
kemaslahatan yang lain.
2)
Mengecualikan
sesuatu dari hukum umum. Misalnya, Islam melarang transaksi yang belum tahu
waktunya, namun berdasarkan istihsan, Islam memberikan dispensasi dengan
transaksi salam (pesanan) dan istisna’ (membuat barang setelah terjadi
transaksi).
b.
Istishab
Secara bahasa istishab berarti mencari hubungan yaitu otoritas atau
bukti tertentu, bebas dari kewajiban, misalnya sesuatu itu diakui sampai
dipastikan adanya pertentangan. Sedangkan menurut istilah menetapkan hukum yang
berlaku pada masa lalu untuk keberlakuan masa sekarang, karena tidak adanya
pertentangan yang merubahnya. Meurut Asy-Syaitbi, istishab adalah segala
ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yang lampau, dinyatakan tetap berlaku
hukumnya pada masa sekarang.
c.
Maslahah
Mursalah
Maslahah mursalah adalah menetapkan ketentuan-ketentuan hukum yang
tidak disebutkan sama sekali di dalam nas Al-Qur’an maupun As-Sunnah atas
pertimbangan mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan.
d.
‘urf
Menurut bahasa ‘urf berarti sudah dikenal, maka ‘urf sering
dimaknai dengan kebiasaan atau adat dan tradisi. Al-Ghazali menyebutkan bahwa ‘urf
adalah sesuatu yang telah menjadi mantap atau mapan di dalam jiwa dari segi
akal dan telah dapat diterima oleh watak-watak sehat dan baik. menurut hukum
Islam, pada dasarnya semua tradisi dapat dijadikan sumber hukum Islam dengan
syarat tidak bertentangan dengan ketentuan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta
tidak bertentangan dengan akal sehat dan tabiat yang sejahtera, sehingga tidak
mengakibatkan kedurhakaan, kerusakan, dan kemudaratan.
e.
Syar’u Man
Qablana
Syar’u man qablana berarti syariat sebelum kita. Menurut istilah
adalah syariat umat-umat sebelum Nabi Muhammad saw. yang dikisahkan dalam
Al-Qur’an ataupun hadis shahih. Menurut hukum Islam syar’u man qablana diterima
jika ada persesuaian dengan Islam dan ditolak jika menyalahinya.
f.
Syadduz Zara’i
Syadduz zara’i menurut bahasa adalah menutup jalan. Sedangkan menurut
istilah adalah masalah yang takpaknya diperbolehkan, tetapi mendatangkan
perbuatan haram, dan masalah itu membawa kepada kerusakan. Menurut ulama ushul
fikih adalah sesuatu yang bisa menyampaikan kepada hal yang terlarang yang
mengandung unsur kerusakan. Memperhatikan pengertian tersebut maka syadduz zara’i
merupakan tindakan preventif (pencegahan) atas terjadinya kerusakan atau
tindakan pencegahan atas bahaya yang lebih besar. Sebagai contoh kewajiban
mengerjakan sholat lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan sholat itu
apabila telah belajar sholat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat
mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar sholat itu tidak wajib. Tetapi
karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, maka
ditetapkanlah hukum wajib belajar sholat sebagaimana hukum sholat itu sendiri.
g.
Mazhab Sahabi
Mazhab sahabi adalah fatwa-fatwa para sahabat tentang
masalah-masalah hukum yang ditetapkan setelah wafatnya Rasulullah saw. Fatwa
sahabat itu diriwayatkan atau dibukukan oleh parah tab’in atau tabi’-tabi’in
dan dikumpulkan-nya hadi-hadis Nabi Muhammad saw. seperti yang dilakukan oleh
imam malik dengan kitabnya Al-Muwatta. Sebagian ulama menegaskan bawa fatwa
yang dilakukan sahabat, secara konsepsional tidak terpisah dari sunnah Rasul,
kandungannya yang khusus memang merupakan produk sendiri sebagai bagian dari
kreatifitas mereka atau merupakan ijtihad personal mereka. Adapun menurut ulama
Mazhab sahabi dapat dijadikan hujjah bila masing-masing sahabat tidak ada yang
bertentangan, kecuali jika ada sebagian yang menentang, maka boleh tidak
diikuti. Walaupun demikian, sahabat dipandang sebagai generasi yang paling
mengerti tentang ruh hakikat syariah.
0 komentar:
Posting Komentar
Segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan.