A.
Pengertian Fikih
Fikih (الفقه) adalah bahasa Arab dalam bentuk mashdar (kata
dasar) yang fi’il-nya (kata kerjanya) adalah فقه يفقه فقها. Kata fiqh semula berarti
العلم (pengetahuan) dan الفهم (pemahaman). Secara istilah
(terminologi), fiqh didefinisikan secara eksklusif yang terbatas pada
hukum-kuhum yang praktis (‘amali) yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci (tafsili). Definisi tersebut bisa dilihat berikit ini:
Imam
Abu Zahrah mengatakan bahwa al-Fiqh adalah:
العلم
بالأحكام الشرعية
العملية من
أدلتها التفصيلية
“Ilmu
yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali)yang diambil
dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”.
Abdul
Wahab Khalaf mengemukakan bahwa al-Fiqh adalah:
العلم
بالأحكام الشرعية
العملية المكتسبة
من أدلتها
التفصيلية
“Ilmu
yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali) yang
diusahakan dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”.
Lebih
jelas lagi imam Abu Hamid al-Ghazali (wafat tahun 5O5 H) mendefinisikan al-Fiqh sebagai
ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang ditetapkan secara khusus bagi
perbuatan-perbuatan para manusia (mukallaf) seperti wajib, haram, mubah,
sunnah, makruh, perikatan yang sahih (sah), perikatan
yang fasid (rusak) dan yang batal, serta menerangkan tentang
ibadah yang dilaksanakan secara qada’(pelaksanaannya di luar
ketentuan waktunya) dan hal-hal lain semacamnya.
Jadi, hukum-hukum syara’ yang praktis yang
lahir sebagai hasil dari dalil-dalil yang terperinci itu dinamakanal-Fiqh,
baik ia dihasilkan dengan melalui ijtihad ataupun secara langsung hasil pemahaman
terhadap teks al-Qur’an dan as-Sunnah. Jelaslah bahwa hukum-hukum yang
berkaitan dengan aqidah dan akhlak tidak termasuk dalam pembahasan ilmu fiqih.
B. Pengertian Ushul Fikih
Pengertian Ushul Fikih dapat dilihat sebagai
rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan
kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu
dari ilmu-ilmu Syari’ah. Dilihat dari tata bahasa (Arab), Kata Ushuladalah
kata jamak dari ashl (أصل) artinya landasan untuk membangun
(pondasi) berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Sedangkan
menurut istilah,ashl dapat berarti dalil,Kata fiqh secara
bahasa memiliki pengertian al-fahm (الفهم) atau faham. Dengan demikian, fiqh menurut
pengertian bahasa menyangkut pemahaman yang diperoleh melalui proses berfikir
yang mendalam, bukan sekedar tahu atau mengerti. Tidak semua proses berpikir
adalah memahami karena memahami adalah tingkatan tertinggi dalam berpikir.
Jadi, fiqh adalah hasil berpikir yang mendalam. Maka Ushul
Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.
Secara
singkat pengertian ushul fiqh sebagaimana diberikan oleh Imam
Ibnu Hajib al-Maliki adalah:
العِلْمُ
بِِِالْقَوَاعِدِ الَّتِي
يَتَوَصَّلُ بِهَا
اِلَى اِسْتِنِْبَاطِ
الْأَحْكَامِ الشََّرْعِيِّةِ
الفَرْعِيَّةِ مِنْ
أَدِلَّتِهَا التًّفْصِيْلِيَّةِ
“Mengetahui kaidah-kadiah yang membawa kepada
pengambilan hukum syar‘’ yang cabang dari dalil-dali rinci.
Berdasarkan kaidah di atas dapat disimpulkan
bahwa ushul fiqh adalah “Pengetahuan mengenai kaidah-kaidah atau dalil umum
untuk melakukan istimbath (penggalian hukum).” Jadi sasarannya
adalah membahas dan membuat kaidah, bukan membahas rincian hukum atau
menyimpulkan hukum dari dalil-dalil Alquran dan hadits. Pembahasan mengenai
rincian hukum dan pemahaman dalil-dalil rinci Alquran hadits adalah tugas fiqh.Ushul
fiqh hanya membahas kaidah-kaidah umumnya saja sehingga tugasushuliyyin hanyalah
membuat dan meneliti kaidah ushul.
Contoh:
Ulama ushuliyyin
(ahli ushul fiqh) menyatakan sebuah kaidah ushul:
اَلْأَصْلُ
فِيْ اْلأَمْرِ
لِلْوُجُوْبِ
“Perintah pada dasarnya berarti wajib”
Ketika
para ahli fiqh (fukaha) mengkaji surat al-Isra’ ayat 78:
أَقِمِ
الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ
الشَّمْسِ إِلَى
غَسَقِ اللَّيْلِ
وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ
إِنَّ قُرْآَنَ
الْفَجْرِ كَانَ
مَشْهُودًا (الإسراء
78)
“Dirikanlah shalat ketika matahari tergelincir
sampai terbenamnya mega merah dan (dirikan) shalat saat munculnya fajar.
Sesungguhnya fajar itu dapat terlihat.”
Terlihat
bahwa perintah tersebut tidak disertai hal-hal yang membuatnya berarti lain
selain perintah shalat pada waktu-waktu tertentu. Berdasarkan akidah ushul
di atas, perintah tersebut bermakna wajib. Karena itu, ahli fikih memutuskan
bahwa perintah shalat pada waktu tertentu bermaksa wajib. Itu berarti ahli
fiqh menggunakan kaidah-kaidah yang dikaji dan dirumuskan ahli
ushul untuk melakukan penggalian hukum dari Alquran.
C. Ruang Lingkup Kajian Ilmu Fiqih
Pokok bahasan dalam ilmu fiqih ialah perbuatan
mukallaf menurut apa yang telah ditetapkan syara’ tentang ketentuan hukumnya.
Karena itu dalam ilmu fiqih yang dibicarakan tentang perbuatan-perbuatan yang
menyangkut hubungannya dengan Tuhannya yang dinamakan ibadah dalam berbagai aspeknya,
hubungan manusia sesamanya baik dalam hubungan keluarga, hubungan dengan orang
lain dalam bidang kebendaan dan sebagainya[.
Dari hubungan-hubungan tersebut menumbuhkan beberapa pendapat para ulama’
fiqih. menurut para ulama’ fiqih pada umumnya, pokok pembahasan ilmu fiqih
terdiri dari empat pembahasan yang sering disebut dengan Rubu’, yaitu:
1. Rubu’ Ibadat
2. Rubu’ Muamalat
3. Rubu’ Munakahat
4. Rubu’ Jinayat
Ada lagi yang berpendapat tiga saja, yaitu: bab
ibadah, bab mu’amalat, bab ‘uqubat. Menurut Prof.
T.M. Hasbi Ashiddieqqi, bila kita perinci lebih lanjut, dapat dikembangkan
menjadi delapan pokok pembahasan, yaitu: ibadah, Ahwalusy
Syakhshiyyah, Muamalah Madaniyah, Muamalah Maliyah, Jinayah dan ‘Uqubah (pelanggaran
dan hukuman), Murafa’ah atau Mukhashamah, Ahkamud
Dusturiyyah dan Ahkamud Dualiyah (hukum
internasional).
D. Sejarah Perkembangan
Ilmu Ushul Fikih dan Ilmu Fikih
Para ahli membagi sejarah perkembangan ilmu ushul fikih dan fikih kepada beberapa periode yaitu:
a.
Zaman Rasulullah
Di zaman Rasulullah
SAW sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu
kasus terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus
tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW menetapkan hukum kasus
tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh
permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat
dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian juga
terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam
menentukan keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal
sewaktu beliau diutus oleh Rasul.Sebelum berangkat, Nabi bertanya kepada Muadz:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
“Sesungguhnya Rasulullah Saw mengutus Mu’adz ke Yaman.
Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal: Bagaimana engkau akan
memutuskan persoalan?, ia menjawab: akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah
(al-Quran), Nabi bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?, ia
jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi bertanya lagi:
kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah Rasul?, ia menjawab: saya akan
berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang
telah memberi Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi)
Ushul Fiqih secara
teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih
masih belum menjadi nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih
adalah, jika terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka
pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran, kemudian Hadis.
Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat
berijtihad. Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga
dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh seseorang
yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-sungguh dalam mencurahkan
pemikiran baik hasil usahanya benar atau salah.
Selain dalam bentuk
anjuran dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri pada
dasarnya telah memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad
sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai berikut:
ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua
orang sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak
punya air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan
melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum
habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu
mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang tidak
mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan shalatmu
mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya, Rasulullah
menyatakan: “Bagimu dua pahala.”
Dalam kisah di atas,
sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan ketika menemukan air
setelah shalat selesai dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam
menyikapi persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudhu dan ada yang
tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad dua sahabat
tersebut.
Dalam beberapa kasus,
Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat.
Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya
puasa seseorang yang mencium istrinya. Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah
puasamu batal?” Umar menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak batal). Rasulullah
kemudian bersabda “maka teruskan puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu
Dawud). Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa
Rasulullah SAW jelas telah menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu
dengan mengqiyaskan tidak batalnya seseorang yang sedang berpuasa karena
mencium istrinya sebagaimana tidak batalnya puasa karena berkumur-kumur.
b. Zaman Sahabat
Setelah wafatnya
Rasulullah, maka yang berperan besar dalam pembentukan hukum islam adalah para
sahabat nabi. Periode ini dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 50 H.
Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya
kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan
mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki
kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab,
Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka
berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri. Pada era sahabat
ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma
sahabat dan maslahat mursalah.
Pertama, khalifah
(khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan
bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat
yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya diikuti
oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah
momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh sebagian
ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang
paling bisa diterima. Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu),
yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari
pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang
belum muncul pada masa Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan
kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya
disamakan.
Penggunaan
maslahah juga menjadi bagian penting fiqih
sahabat. Umar bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan
penggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan
pertimbangan maslahah tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Al-qur’an dalam
satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majelis dipandang sebagai
talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan diwaktu paceklik,
penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan
sebagainya. Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang
dimaksud oleh Al-qur’an dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara
lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Perempuan-perempuan yang ditalak
hendaknya menunggu selama tiga quru”
Kata quru’ dalam ayat di atas
memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Ali, Usman, dan Abu Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di
atas dengan pengertian haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar
mengartikannya dengan suci. Itu berarti ada perbedaan
mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Memang, semenjak masa
sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya.
Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat
Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada
masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian
semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
c.
Zaman Tabi’in
Pada masa ini juga
semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama mengenai
hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan
tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain, tetapi
juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah. Kenyataan-kenyataan
di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni
kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam
menetapkan hukum dalam berijtihad. Demikian pula dengan semakin luasnya daerah
kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa Arab memeluk agama
Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka. Dari
pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa akibat terjadinya
penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik berupa ejaan,
kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun dalam tulisan.
Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan dan
kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara’. Hal ini mendorong para
ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat memahami
nash-nash syara’ sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu turun atau
datangnya nash-nash tersebut. Pada masa tabi’in, permasalahan hukum yang muncul
pun semakin kompleks. Para tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam.
E. Tahap-tahap Perkembangan Usul Fiqih dan Fikih
secara garis besarnya, ushul fiqh dapat di bagi dalam
tiga tahapan yaitu:
1.
Tahap awal (abad 3H)
Pada abad 3 H di bawah
pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian timur. Khalifah-khalifah
yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma’mun(wafat 218H), Al-Mu’tashim(wafat
227H), Al Wasiq(wafat 232H), dan Al-Mutawakil(wafat 247H) pada masa mereka
inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari
kekhalifahan Arrasyid. Salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat
keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqih yang pada giliranya
mendorong untuk disusunya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqih.
Seperti telah
dikemukakan, kitab ushul fiqih yang pertama-tama tersusun seara utuh dan
terpisah dari kitab-kitab fiqih ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi’i. Kitab ini
dinilai oleh para ulama sebagai kitab yang bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata
“kedudukan As-Syafi’i dalam ushul fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam
ilmu Manthiq dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud”. Ulama
sebelum As-Syafi’i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqih dan
menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang
menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari’at dan cara memegangi dan
cara mentarjihkanya maka datanglah Syafi’i menyusun ilmu ushul fiqih yang
merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui
tingkatan-tingkatan dalil syar’i, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu
ushul fiqh sesudah As-Syafi’i, mereka tetap bergantung pada Asy-Syafi’i karena
Asy-Syafi’ilah yang membuka jalan untuk pertama kalinya.
Selain kitab
Ar-Risalah pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushul fiqh lainya.
Isa Ibnu Iban(wafat 221H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid,
ijtihad ar-ra’yu. Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (wafat 221H\835M) menulis kitab
An-Nakl dan sebagainya.
Namun perlu diketahui
pada umumnya kitab ushul-fiqh yang ada pada abad 3H ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran
ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya kecuali kitab Ar-Risalah itu
sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyah
yang menjadi pusat perhatian Para Fuqaha pada zaman itu.
2. Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini abad(4H)
merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty abassiyah dalam bidang politik.
Dinasty Abasiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing
dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap perkembangan
semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing
penguasa daulah itu berusaha memajukan negerinya dengan memperbanyak kaum
intelektual.
Khusus dibidang
pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam
kerangka sejarah tasyri’ Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan ijtihad
muthlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu mereka
suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan
pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya
aliran-aliran fiqh semakin mantap eksitensinya, apa lagi disertai fanatisme
dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut
madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Namun demikian,
keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena
masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna
menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya, dengan melakukan usaha
antara lain:
a.
Memperjelas ilat-ilat
hukum yang di istinbathkan oleh para imam mereka mereka disebut ulama takhrij
b.
Mentarjihkan
pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab baik dalam segi riwayat dan
dirayah
Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai masalah
khilafiyah, mereka menyusun kitab al-khilaf. Sebagai tanda berkembangnya ilmu ushul fiqih
dalam abad 4 H ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang
merupakan hasil karya ulama-ulama fiqh diantara kitab yang terkenal adalah:
a.
Kitab Ushul Al-Kharkhi,
ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham
Al-Kharkhi(wafat 340H)
b.
Kitab Al Fushul
Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim yang juga
terkenal dengan Al-Jasshah (wafat 305H)
c.
Kitab Bayan Kasf
Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy
Al-Hanafi.
d.
Ada beberapa hal yang
menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada abad 4 H yaitu munculnya
kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan tidak sebagian-sebagian
seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas
hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat
pandangan tertentu dalam masalah itu.
Selain itu Materi berpikir dan penulisan dalam kitab-kitab
yang ada sebelumnya dan menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana
dalam kitab fushul fi al ushul karya abu baker ar-razi hal ini merupakan corak
tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada awal abad 4H, juga tampak pula
pada abad ini pengaruh pemikiran yang bercorak filsafat, khususnya metode
berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul fiqih.
3.
Tahap Penyempurnaan (
5-6 H )
Kelemahan
politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil,
membawa arti bagi perkembanangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam
tak lagi berpusat di Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara,
Ghaznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para
sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu
dan peradaban, hingga berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang
menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mndalaminya,
antara lain Al-Baqilani, Al-Qhandi, abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu
Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani,
Abu Humaid Al Ghazali dan lain-lain. Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di
zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan
jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmu ushul fiqih yang tidak ada
bandinganya dalam penulisan dan pengkajian keislaman , itulah sebabnya pada
zaman itu, generasi Islam pada kemudian hari senantiasa menunjukan minatnya
pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikanya sebagi sumber pemikiran.
Dalam sejarah
pekembangan ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan periode
penulisan ushul fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi
kitab standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih selanjutnya. Kitab-kitab ushul
fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab ushul
fiqih bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan adanya aliran ushul fiqih,
yakni aliran hanafiah yang dikenal dengan aliran fuqaha, dan aliran
Mutakalimin.
E. Pembukuan Ushul
Fiqih
Salah satu yang
mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan
wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan
timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk
itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah
dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.
Dengan disusunnya
kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad
II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqih. Dikatakan oleh Ibnu Nadim
bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqih ialah Imam Abu
Yusuf murid Imam Abu Hanifah akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada
kita.
Diterangkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama
yang pertama kali membukukan kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqih dengan disertai
alasan-alasannya adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi’iy (150-204 H) dalam
sebuah kitab yang diberi nama Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam
bidang Ilmu Ushul Fiqih yang pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu
terkenal di kalangan para ulama, bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqih.
Pada periode ini, metode penggalian hukum juga
bertambah banyak, baik corak maupun ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak
pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis penerapannya. Sebagai contoh Imam
Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi ijtihadnya dengan menggunakan
al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan berijtihad
dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak
mau menggunakan fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan bahwa mereka
sederajat dengan dirinya. Imam Maliki setelah al-Quran dan Hadis lebih banyak
menggunakan amal (tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah
mursalah.
Pada periode inilah
ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis pembukuan ilmu ini
adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia memulai menyusun
metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta petunjuk-petunjuk
Ushul Fiqih. Dalam penyusunannya ini, Imam Syafi’i bermodalkan peninggalan
hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, di samping juga
rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran fiqih yang bermacam-macam.
Berbekal pengalaman
beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik (ulama Madinah), Imam Muhammad
bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah
yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah menjadikannya seorang yang
berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang
menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah
inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul Fiqih. Oleh sebab itu
Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih, yang diberi
nama “al-Risalah”.
F. Ruang Lingkup Ushul Fikih
a.
|
Bentuk-bentuk
dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah,
makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah,
batal, azimah dan rukhshah).
|
b.
|
Masalah
perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti
apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak,
menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau
dipaksa, dan sebagainya.
|
c.
|
Pelaku suatu
perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu
mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah
orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
|
d.
|
Keadaan atau sesuatu
yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh
usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama
disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
|
e.
|
Masalah
istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah
lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan
muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
|
f.
|
Masalah ra'yu,
ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu
dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat
mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
|
g.
|
Masalah adillah
syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas,
istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man
qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus
syari'ah.
|