Unsur-unsur Hukum Islam

 

A.    Hakim

Dipandang dari sisi Hukum Syar’i, yang dimaksud hakim yaitu yang menghukumi atau yang memberikan hukum, yaitu Allah swt, baik melalui firman-Nya maupun melalui sunnah Rasul-Nya. Hakim disebut juga syari’ atau musyarri’ (yang mensyariatkan). Sedangkan dipandang dari sisi peradilah Islam, yang dimaksud hakim adalah orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengadili perkara di antara manusia menurut ketentuan undang-undang yang berlaku, yang bersumber dari hukum Islam. Pengangkatan hakim oleh penguasa karena penguasa tidak mampu melaksanakan lembaga peradilan sendiri. Adapun untuk menjadi hakim di Indonesia, seseorang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1.      Harus warga negara Indonesia;

2.      Beragama Islam;

3.      Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

4.      Setia pada pancasila dan UUD 1945;

5.      Bukan bekas anggota organisasi terlarang;

6.      Pegawai negeri sipil (PNS);

7.      Sarjanah hukum Islam (Syariah);

8.      Berumur serendah-rendahnya 25 tahun;

9.      Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

Sedangkan jika dipandang dari sudut pandang agama maka syarat seorang menjadi hakim adalah sebagai berikut:

1.      Laki-laki yang merdeka;

2.      Berakal;

3.      Beragama Islam;

4.      Adil (beriman dan bertaqwa);

5.      Menguasai segala pokok-pokok hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan cabangnya;

6.      Sehat jasmani dan rohani.

 

B.     Mahkum Fih

Mahkum fih yaitu perbuatan hukum yang dibebankan kepada mukalaf untuk mengerjakannya, seperti sholat, puasa, jual beli dan ibadah-ibadah lainnya. Perbuatan mukallaf itu, baik yang terkait dengan hak Allah (haququllah) maupun yang berkaitan dengan hak manusia (haququl adami), baik yang bersifat wajib, sunnah, haram, makruh, maupun mubah.

 

C.    Mahkum Bih

Mahkum bih yaitu nilai kandungan hukum syar’i yang dibebankan kepada mukallaf atas perbuatan-perbuatan hukum, seperti hukum wajib, sunnah, haram, dan mubah. Mahkum bih harus memenuhi tiga syarat, yaitu sebagai berikut:

1.      Perbuatan itu harus jelas diketahui oleh mukallaf, sehingga dapat melaksanakan sesuai dengan tuntunan syara’. Misalnya kewajiban melaksanakan sholat baru dibebankan sebagai perbuatan hukum setelah ada penjelasan tentang cara pelaksanaannya. Sehingga  ketidaktahuan melaksanakan sholat tidak dikenai hukuman dari Allah swt. tapi ketidaktahuan yang dimaksud bukanlah ketidaktahuan yang disengaja. Jadi kalau kita punya kemampuan untuk belajar agama, namun kita malas untuk belajar dan mencari tahu, maka itu artinya ketidaktahuan kita disengaja dan perbuatan kita akan dikenai hukuman oleh Allah swt.

2.      Harus diketahui oleh mukallaf bahwa taklif (perbuatan yang dibebankan) tersbut berasal dari Allah swt. sehingga dalam mengerjakannya ada ketaatan terhadap Allah swt.

3.      Taklif tersebut merupakan suatu hal yang mungkin dapat dikerjakan oleh mukallaf, bukan perbuatan yang tidak mungkin dikerjakan.

 

D.    Mahkum ‘Alaih

Mahkum ‘alaih adalah mukallaf yang dikenai hukum. Seorang disebut mukallaf karena telah mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah swt. maupun dengan larangannya. Semua perbuatan mukallaf akan dimintai pertanggungjawaban secara hukum oleh Allah swt. baik di dunia maupun di akhirat. Adapun syarat sah mukallaf dikenai beban hukum di antaranya sebagai berikut:

1.      Mampu memahami tuntutan syara’ yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-sunnah.

2.      Balig dan berakal (bukan anak-anak, tidak tuli, pikun, gila).

3.      Seorang harus mampu bertindak hukum, secara ushul fiqih disebut ahliyah. Disebut ahliyah berhubungan dengan kecakapan seseorang dalam bertindak atau ahli dalam bidang tertentu. Artinya, seseorang mampu melaksanakan tindakan hukum dalam bidangnya. Keterangan tersbut memberi pemahaman bahwa ahliyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya sehingga seluruh perbuatannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang masuk kategori ini sah dalam melaksanakan tindakan hukum, seperti transaksi jual beli dan nikah.

Dalam ushul fiqih, ahliyah dibagi menjadi dua, yaitu ahliyah al-ada’ dan ahliyah al wujub.

a.       Ahliyah al-ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum bagi seorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik bersifat positif maupun negatif. Apabila melakukan perbuatan sesuai dengan ketentuan syara’ ia akan mendapat pahala. Apabila tidak melakukannya, ia akan mendapat dosa dari Allah swt.

b.      Ahliyah al-wujud adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, namun belum mampu dibebani seluruh kewajiban. Misalnya, setiap orang berhak menerima hibah, kemudian harta tersebut dirusak orang, ia pun dianggap mampu menerima ganti rugi, di samping mampu untuk menerima harta waris dari keluarganya. Jika seandainya yang menerima hibah tersebut adalah anak kecil, anak kecil tersebut sebatas mampu menerima hibah (sebagai hak), namun tidak mampu mengelola harta yang diberikan kepadanya karena ia masih kecil.

0 komentar:

Posting Komentar

Segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan.