Al-Qur’an adalah kitab yang
diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. sebagai petunjuk bagi umat manusia.
Al-Qur’an sendiri berarti “bacaan” yang dimana Al-Qur’an mampu menerangi hati
manusia dan menjadi petunjuk apabila Al-Qur’an senantiasa di baca setiap
harinya. Selain itu Al-Qur’an juga memiliki nama yang lain, yaitu:
1. Al-Huda
(Petunjuk)
2. Al-Furqon
(Pembeda)
3. As-Syifa
(Obat)
4. Ad-Dzikir
(Pemberi peringatan)
5. Al-Kitab
(Sesuatu yang ditulis)
6. Al-Hikma
(Kebijaksanaan)
7. Al-Bayan
(Penerang)
8. An-Nur
(Cahaya)
9. Al-Kalam
(Ucapan/Firman)
10. Al-Busyra
(Kabar Gembira)
Beriman kepada Al-Qur’an
merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim, tidaklah dikatakan seseorang itu
adalah mukmin manakalah belum mampu mengimani Al-Qur’an. Rasulullah saw.
bersabda
من قَرأ
القُرانَ فَاستَظهَرَه فَحَل حَلآلَه وَحَرمَ حَرَامَهُ اَدخَلَهُ اللٌهُ الجَنٌةَ
Dalam hadis tersebut
disebutkan bahwa seseorang dikatakan beriman kepada Al-Qur’an jika ia memenuhi
tiga kriteria:
Pertama gemar membaca
Al-Qur’an, sebagaimana arti dari Al-Qur’an itu sendiri adalah bacaan. Maka
tidaklah sempurna iman seseorang jikalau masih lalai dalam membaca Al-Qur’an
Kedua memahami atau
berusaha memahami apa yang di kandung dalam Al-Qur’an. Sebagai umat muslim
belajar tentunya menjadi keawajiban, dan tidak ada pelajaran yang paling baik
melainkan mempelajari Al-Qur’an, karena ia akan mengantarkan kita ke surganya
Allah swt.
Ketiga mengamalkan isi
kandungan Al-Qur’an. Adapun Al-Qur’an mengandung 6 ajaran pokok, yaitu:
1. Akidah
Yaitu kepercayaan yang
mantap dan keputusan yang tegas yang tidak bisa dihinggapi kebimbangan. Adapun
sebagai umat Islam diwajibkan percaya kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab
Allah, Rasul Allah, hari Kiamat, dan Qadha dan Qadar
2. Akhlak
Yaitu budi perkerti,
tingkah laku atau tabiat. Akhlak terbagi menjadi lima, yaitu:
1) Akhlak
kepada Allah: mentauhidkan Allah, bertakwa kepada Allah, Dzikrullah (ingat
Allah) dan Tawakal (berserah Diri kepada Allah).
2) Akhlak
kepada diri sendiri: syukur, amanah, jujur, menepati janji, memelihara
kesucian.
3) Akhlak
terhadap keluarga: berbakti kepada orang tua, bersikap baik kepada saudara dan
seluruh karib kerabat.
4) Akhlak
kepada masyarakat: berbuat baik kepada tetangga, tolong menolong.
5) Akhlak
terhadap Alam: memelihara dan menyantuni binatang, memelihara dan tidak merusak
lingkungan.
3. Ibadah
Yaitu semua bentuk
pekerjaan yang bertujuan memperoleh ridho Allah dan mengharapkan pahala
dari-Nya di akhirat. Secara garis besar ibadah terbagi menjadi dua. pertama
Ibadah Mahda: ibadah yang diikat oleh syarat dan rukun seperti sholat, puasa,
zakat, haji. Kedua Ibadah Gairu Mahdah: ibadah yang berhubungan antara manusia
dan alam sekitarnya dan tidak diikat oleh syarat dan rukun seperti tolong
menolong, menjaga kebersihan lingkungan, berbuat baik kepada teman,
dll.
4. Muamalah
Yaitu hukum yang mengatur
tentang hubungan antar manusia, seperti hukum jual beli, cara berinteraksi
dengan tetangga, cara berinterkasi dengan Non Muslim, dll
5. Jinayat
Yaitu hukum yang mengatur
tentang tindak pidana dalam Islam, seperti pembunuhan, qisas, Diyat, dan Kaffarat.
6. Tarikh/Qissah
Yaitu sejarah-sejarah Nabi
dan umat-umat terdahulu yang bertujuan memberikan pengalaman dan pelajaran.
Hadis adalah segala yang
bersumber dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir
(ketetapan) sedangkan sunnah adalah segala yang bersumber dari Nabi Muhammad
Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan), baik sebelum beliau
diangkat menjadi rasul maupun sesudah beliau diangkat menjadi rasul. Dari
pengertian tersebut maka dapat kita ketahui bahwa Sunnah lebih luas dari Hadis
karena mencakup segala sesuatu dari Nabi Muhammad Saw, baik sebelum maupun
sesudah di angkat menjadi rasul.
Adapun
hadis adalah sumber hukum kedua umat Islam, yang dimana meiliki peran sebagai
berikut:
1. Bayan
At-Taqrir: menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Contohnya seperti kewajiban sholat dalam Al-Qur’an di perkuat dengan hadis nabi
bahwa “barangsiapa yang meninggalkan sholat fardhu maka ia telah kafir
secara terang-terangan”
2. Bayan
At-Tafsir: menjelaskan dengan rinci hal-hal yang belum jelas yang terdapat
dalam Al-Qur’an. Contohnya cara sholat tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an,
Al-Qur’an hanya menjelaskan bahwa sholat wajib, dan tata cara pelaksanaan
sholat dijelaskan dalam hadis nabi, mulai dari cara takbir sampai dengan salam.
3. Bayan
At-Tasyri: menetapkan aturan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Contohnya
hukum rajam bagi pelaku zina, hukum qisas, diat, kafarat bagi pelaku pembunuhan
dan penganiaayaan yang hanya dijelaskan dalam hadis nabi.
4. Bayan
An-Nasakh: menghapus ketentuan yang ada dengan ketentuan yang lain. Contohnya
ziarah kubur pada awal-awal kedatangan Islam adalah sesuatu hal yang dilarang
karena disebabkan umat Islam saat itu imannya masih lemah sehingga memungkinkan
terjadinya kesyirikan. Namun setelah Islam sudah mulai berkembang maka larangan
ziarah kubur pun dibolehkan agar umat Islam senantiasa mengingat kematian, dan
dengan mengingat kematian umat Islam akan lebih dekat kepada Allah Swt.
Adapun metode punulisan Hadis adalah sebagai
berikut
1. Metode
Musnad: kitab yang mengumpulkan hadis sesuai dengan sahabat yang
meriwayatkannya.
2. Metode
Jami’: kita yang menggunakan metode Enksiklopedia, merangkum semua bab yang
mencakup segala persoalan-persoalan dalam agama Islam.
3. Metode
Sunan: kitab yang mengumpulkan hadis yang berkaitan dengan hukum fikih
4. Metode
Mu’jam: kitab yang mengumpulkan hadis yang disusun sesuai dengan nama guru
penulis.
5. Metode
Musannaf: kitab yang mengumpulkan hadis khusus masalah fikih tapi disertai
dengan atsar sahanat dan tabi’in.
6. Metode
Muattho: kitab yang mengumpulkan hadis, atsar, dan perkataan ulama.
Metode Juz’u: kitab yang mengumpulkan hadis
dalam berdasarkan tema. Contohnya juz 1 bab akidah, maka pada juz ini
hadis-hadisnya hanya menceritakan segala sesuatu yang berkaitan tentang akidah.
Ada 8 cara yang digunakan dalam menerima dan
menyampaikan hadits, berikut penjelasannya:
a. Sama ' (mendengar secara langsung dari syaikh)
Adalah
mendengar hadits dari bacaan syaikh (guru), sama saja apakah syaikh tersebut
mengucapkan hadits tersebut dari hafalannya atau dari bacaan kitabnya. Jika
murid itu meriwayatkan dengan cara ini, maka dia hendaknya berkata
: Sami’tu/ Aku mendengar atau dia bercerita kepadaku, jika dia
sendirian. Atau : “Dia bercerita kepada kami”, jika ada orang lain
bersamanya. (bahasa yang biasa digunakan adalah Sami’tu, Sami’na,
Haddatsanii, Haddatsanaa, Akhbaronii, Akhbaronaa, Anbaanii, Anba anaa, Qoola
lii, Qoola lanaa, Dzakaro lii, Dzakaro lanaa.
Muhaddits
periode awal terbiasa menggunakan lafal Sami’tu, sementara pada
masa berikutnya lebih akrab menggunakan lafal Haddatsanaa. Namun
demikian pada dasarnya kedua lafal tersebut tidak memiliki perbedaan yang
berarti. Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama digunakan untuk mewartakan
hadits yang didengar langsung Hadits yang diriwayatkan dengan salah satu lafal
diatas menunjukkan pada bersambungnya sanad.
b. Al Ardh (membaca di hadapan syaikh)
Adalah seorang
murid (perawi) membacakan hadits (dari hadits-hadits yang diriwayatkan
syaikhnya) dan syaikhnya mendengar, sama saja apakah dia (murid) membaca
sendiri atau orang lain yang membacanya dan dia mendengar dan sama saja apakah
syaikh menyimak bacaan tersebut dengan hafalannya atau dengan memegang
kitabnya.
Jika seorang
murid akan meriwayatkan dari syeikh dengan metode ini, maka dia dapat berkata
: Qoro’tu/Aku membaca di hadapan syeikh, atau Quri’a
‘alayya/ dibacakan di hadapannya dan aku mendengar, atau Anbaani.
c. Ijazah
Adalah seorang
syaikh memberi izin bagi muridnya untuk meriwayatkan hadits darinya, atau
meriwayatkan kitabnya tanpa mendengar riwayat itu darinya. Dikatakan murid
telah mendapat ijazah, jika seorang syeikh berkata kepada salah seorang
muridnya : “Aku mengijinkan kamu untuk meriwayatkan hadits-haditsku atau
kitab-kitabku dariku”. Hukum meriwayatkan hadits dengan metode ini, para ulama
berbeda pendapat tentang kebolehannya, yaitu :
1) Tidak
boleh. Ibnu Hazm berkata : “Itu adalah bid’ah, tidak boleh”.
2) Boleh.
Dan ini adalah pendapat jumhur.
d. Munawalah
Yaitu seorang
syaikh memberikan kitab atau lembaran (yang berisi hadits) kepada muridnya
untuk meriwayatkannya. Dan jenis ini ada dua macam yaitu yang disertai
dengan ijazah (izin) dan yang tidak disertai dengan ijazah.
1) Munawalah
yang diiringi dengan ijazah
a) Prakteknya,
seorang syeikh memberikan sebuah kitab kepada seorang murid dan dia berkata : “Ini
adalah yang aku dengarkan dari fulan atau ini adalah karanganku. Maka
riwayatkanlah dariku”.
b) Hukum
meriwayatkannya adalah boleh menurut jumhur.
2) Munawalah
yang tidak diirngi dengan ijazah
a) Prakteknya,
seorang syeikh memberikan sebuah kitab kepada seorang murid dan dia berkata
: “Ini adalah hadits yang aku dengarkan”.
b) Hukum
meriwayatkannya, tidak boleh menurut jumhur ahli hadits, ahli fiqih dan ushul
fiqih.
c) Kata-kata
yang digunakan untuk menunaikannya.
· Naawalanii
Hadzal kitab “Si Fulan telah memberikan kitab kepadaku”.
· “Dia
bercerita kepadaku dengan metode munawalah” atau dia bercerita
kepadaku dengan metode munawalah”.
e. Mukatabah
Adalah seorang
syaikh menuliskan hadits yang pernah didengarnya untuk orang yang hadir di
hadapannya atau untuk orang yang tidak hadir. Dan ini mencakup mukatabah yang
disertai dengan ijazah ataupun yang tidak. Prakteknya ada 2 (dua) dua macam,
yaitu
1) Kitabah
yang diiringi dengan ijazah
a) Bentuknya,
seorang syeikh menulis haditsnya dengan tangannya atau mengijinkan seseorang
kepercayaannya untuk menulis dan mengirimkannya kepada muridnya dan
mengijinkannya untuk meriwayatkan darinya.
b) Hukum
meriwayatkannya adalah boleh. Imam Bukhari berkata : “Tidak ada
perbedaan pendapat dalam hal ini”.
2) Kitabah
yang tidak diiringi dengan ijazah
a) Prakteknya,
seorang syeikh menulis haditsnya dengan tangannya atau mengijinkan seseorang
kepercayaannya untuk menulis hadits dan mengirimkannya kepada muridnya dan dia
tidak mengijinkannya untuk meriwayatkannya darinya.
b) Hukum
meriwayatkannya ada dua :
· Boleh.
Ini adalah pendapat kebanyakan ulama
· Tidak
boleh
c) Kata-kata
yang digunakan
Jika seorang murid akan meriwayatkan dengan
metode ini, maka dia boleh berkata :
· “Telah
ditulis kepada seseorang”.
· “Fulan
bercerita kepadaku dengan cara tulisan” atau “dia memberitahu kepadaku dengan
cara tulisan”.
f. Al I'lam
Adalah seorang
perawi memberitahukan kepada muridnya tentang sumber hadits atau kitab tanpa
memberi izin untuk meriwayatkannya.
Seorang syeikh memberitahukan kepada seorang
murid bahwa hadits-hadits ini dia dengarkan dari fulan atau kitab ini dia
riwayatkan dari fulan, baik dia mengijinkan untuk meriwayatkan darinya atau
tidak.
1) Kata-kata
yang digunakan Seorang murid berkata : “Syeikhku memberitahukan kepadaku
dengan ini … “.
2) Hukum
meriwayatkannya ada (dua)
· Boleh
· Tidak
boleh, kecuali jika syeikh itu mengijinkannya. Ini adalah pendapat kebanyakan
ahli hadits, fiqih dan ushul fiqih.
Mayoritas ulama hadits, usul fiqih memperbolehkan
bentuk ini dijadikan salah satu metode menerima hadits sepanjang kredibilitas
guru dapat dipercaya. Namun demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak
memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan
alasan yang sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini
dikemukakan oleh Al Ghozali dan Ibnu Sholah dalam bukunya Al Muqoddimah.
g. Wasiat
Adalah seorang
ahli hadits mewasiatkan kitab-kitabnya kepada seseorang ketika syaikh tersebut
meninggal atau safar (bepergian).
Seorang
syeikh memberikan wasiat kepada seseorang dengan sebuah kitab yang dia
riwayatkan sebelum kematiannya atau sebelum kepergiannya kepada seseorang.
Hukum meriwayatkannya ada 2 (dua) :
1) Boleh.
Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syeikh Ahmad Syakir. Ibnu Sholah berkata
: “Ini jauh sekali”. An Nawawi berkata : “Ini adalah
kesalahan. Yang benar adalah tidak boleh”.
2) Tidak
boleh, kecuali jika murid itu mendapatkan ijin (ijazah) dari
syeikh itu.
h. Wijadah
Adalah seorang
perawi menemukan/mendapatkan kitab atau lembaran hadits dengan tulisan
seseorang dilengkapi dengan sanadnya.
Seorang murid menemukan sebuah hadits atau
sebuah kitab yang ditulis oleh seseorang yang dia tidak mendengar secara
langsung darinya dan dia tidak mendapatkan ijazah darinya.
1) Hukum
meriwayatkannya : tidak boleh.
2) Kata-kata
yang digunakan untuk menunaikannya adalah jika seorang murid hendak
meriwayatkan dari seorang syeikh dengan metode ini, maka dia boleh berkata
: “Aku menemukan tulisan seseorang”.
0 komentar:
Posting Komentar
Segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan.