ADOPSI, ANAK PUNGUT, DAN ANAK ZINA



A.      Pengertian Adopsi
Secara etimologi adopsi berasal dari kata “adoptie” bahasa Belanda atau “adopt”(adoption) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak. Dalam bahasa Arab disebut “tabanni” yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “ mengambil anak angkat” sedang dalam Kamus Munjid diartikan“ittikhadzahu ibnan” , yaitu “ menjadikannya sebagai anak. Sedangkan secara istilah adopsi adalah suatu perbuatan, pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri semedikian rupa sehingga antara orang yang memungut dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dengan anak kandungnya.
Adopsi dibagi menjadi dua, yakni:
1.    Mengangkat anak orang lain untuk dijadikan anaknya sendiri tanpa memberi status sebagai anak kandungnya sendiri.
2.    Mengangkat anak orang lain untuk dijadikan anaknya sendiri dan memberi atatus sebagai anak kandung sehingga ia berhak memakai nasab orang tua angkatnya dan mewarisiharta peninggalannya, dan hak-hak lainnya sebagai hubungan anak dan orang tua.
Menurut Hilman Kusuma, S. H mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga. Sedangkan surojo wingjodipura, S.H.  mengatakan bahwa adopsi (mengangkat anak) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yag memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara orang tua dan anak.
Dalam hukum positif Indonesia telah diberi beberapa peraturan yang terdapat dalam perundang-undangan Indonesia yang memberikan pengertian khusus tentang pangangkatan anak dan anak angkat, yakni sebagai berikut:
a.    Menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
b.    Sedangkan pada Pasal 1 butir 9 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan pembesaran anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
B.       Hukum Adopsi Anak Menurut Pandangan Agama Islam    
Dalam ajaran Agama Islam antara orang tua angkat dan anak angkatnya tidak ada hubungan nasab. Nasab adalah legalitas (keabsahan; perihal atau keadaan sah) hubungan kekeluargaan yang berdasarkan pertalian darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama syubhat (zina). Dengan adanya hubungan nasab seseorang berhak untuk mendapatkan hak-hak, seperti hukum warisan, pernikahan, perwalian dan sebagainya.
Hukum adopsi di atur dalam Alquran surat Al-Ahzab ayat 4-5, sebagai berikut:
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (4) ادْعُوهُمْ لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (5)                                    
Terjemahan:
 (4) Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar[1198] itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (5) Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu[1199]. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini mengandung pengertian bahwa Allah melarang pengangkatan anak (adopsi) yang menisbahkan segala-galanya kepada nama bapak angkatnya, persamaan hak waris dan hubungan mahram serta perwalian perkawinan. Anak angkat itu hanya sekedar anak pemeliharaan atau anak asuh yang tidak bisa disamakan dengan status anak kandung.
Dari ketentuan di atas sudah jelas bahwa yang dilarang adalah pengangkatan anak sebagai anak kandung dalam segala hal.
Ada beberapa, motivasi yang melandasi pengangkatan anak di Indonesia, sehingga merupakan suatu kebutuhan hidup di masyaraka. Motivasi tersebut diantaranya :
a.       Karena tidak mempunyai anak.
b.      Karena kasih sayang terhadap anak yang tidak memiliki orang tua, atau anak dari orang tua yang tidak mampu.
c.       Karena ia hanya mempunyai anak perempuan, sehingga mengangkat anak laki-laki, atau dengan sebaliknya.
d.      Untuk menambah jumlah keluarga, karena mungkin berkaitan dengan keperluan tenaga kerja dan sebagainya.
Dalam ayat lain tentang kisah pernikahan sahabat Zaid bin Haritsah radhiyallahu’anhu 9yang pernah menjadi anak angkat Rasulullah SAW, sebelum adanya pelarangan) dengan Zainab binti Jahsy radhiyallahu’anha, Allah berfirman dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 37:
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولا (37)                                                                                       
Terjemahan:
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia[1219] supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya[1220]. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
Mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri (waladush shulbi au radha’) hukumnya tidak sah. Hal ini sesuai dengan yang disabdakan Rasulullah Saw, yaitu Sungguh Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut memang bukan bapaknya, maka surga diharamkan terhadap dirinya.” Qatadah berkata, siapa pun tidak boleh menyatakan “Zaid itu putra Muhammad”. Jika seseorang yang demikian itu secara sengaja, maka ia telah maksiat, dan barang siapa bermaksiat kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, berarti ia telah sangat tersesat.
Islam tetap membolehkan adopsi dengan ketentuan :
1.    Nasab anak angkat tetap dinisbatkan kepada orang tua kandungnya, bukan kepada orang tua  angkatnya.
2.    Anak angkat itu dibolehkan dalam Islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan dengan status anak kandung, baik dari segi pewarisan, hubungan mahram, maupun wali (dalam perkawinan).
3.    Karena anak angkat itu tidak boleh menerima harta warisan dari orang tua angkatnya, maka boleh mendapatkan harta benda dari orang tua angkatnya berupa hibah, yang maksimal sepertiga dari jumlah kekayaan orang tua angkatnya.
Dari segi kasih sayang, persamaan biaya hidup, persamaan biaya hidup, biaya pendidikan antara anak kandung dengan anak angkat (adopsi) dibolehkan dalam islam. Jadi hampir sama statusnya dengan anak asuh.
Pengangkatan Zaid bin Al-Haritsah sebagai anak angkat oleh Rasulullah Saw dimanskh (dibatalkan) oleh ayat 37 dari surah al-Azhab, dengan dibolehkannya Rasulullah mengawini bekas istri Zaid, berarti anak bapak angkat dengan anak angkat, tidak terdapat hubungan mahram.
C.      Anak Pungut
1.    Pengertian Anak Pungut
Anak pungut adalah anak yang hidupnya tersia-sia, tidak diakui dan dijamin oleh seseorang kemudian ia diambil oleh orang lain. Dalam istilah bahasa arab disebut  Laqiith, ditinjau dari sisi bahasa artinya anak yang ditemukan terlantar di jalan, tidak diketahui siapa ayah dan bundanya. Demikian definisi yang tercantum dalam kitab Al-Lisaan dan kitab Al-Mishbaah. Biasanya Laqith adalah anak yang dibuang oleh orangtuanya. Ditinjau dari sisi istilah syar’i artinya adalah sebagai berikut:
Menurut madzhab Hanafi, laqiith adalah sebutan untuk seorang bayi yang dibuang oleh keluarganya karena takut miskin atau untuk menghindari tuduhan telah berbuat aib. Menurut pendapat madzhab Syafi’i, laqiith adalah setiap bayi yang terlantar dan tidak ada yang menafkahinya. Menurut madzhab Hambali, laqiith adalah anak kecil yang belum mencapai usia mumayyiz (dewasa) yang tidak diketahui nasabnya dan terlantar, atau tersesat di jalan.
Untuk mengkompromikan semua pendapat ini, maka dapat disimpukan Laqiith adalah anak kecil yang belum mencapai usia mumayyiz yang tidak diketahui nasabnya yang tersesat di jalan atau dibuang oleh keluarganya karena takut miskin atau menghindari tuduhan jelek, atau karena alasan lainnya.
2.    Sumber Hukum
Dasar hukum yang mendasari adanya anak pungut adalah:
a.    QS. Al-Maidah (5)32 :
مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ (32)                                                                                                                        
Terjemahan:
Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya.
b.      QS. Al-Maidah (5) 2:
      وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب                          
Terjemahan:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

3.    Pandangan Ulama tentang Status dan Hukum Anak Pungut
Yusuf Qardhawi menyatakan, bahwa anak yang tersia-siakan dari orang tuanya lebih patut dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam Islam dianjurkan untuk memeliharanya. Asy-Syarbashi mengatakan bahwa para fuqaha menetapkan, biaya hidup untuk anak pungut diambil dari baitul-mal muslimin. Hal ini sebagaimana dikatakan Umar ibn Khattab r.a. ketika ada seorang laki-laki yang memungut anak, ‘pengurusannya berada di tanganmu, sedangkan kewajiban menafkahinya ada pada kami.’
Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai anak muslim, kecuali di negara non-muslim. Oleh karena itu, agar mereka sebagai generasi penerus Islam, keberadaan institusi yang mengkhususkan diri mengasuh dan mendidik anak pungut merupakan fardhu kifayah. Karena bila pengasuhan mereka jatuh kepada non-muslim, maka jalan menuju murtadin lebih besar dan ummat Islam yang tidak mempedulikan mereka, sudah pasti akan dimintai pertanggungjawaban Allah SWTkarena anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang dapat dilakukan bila ia berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat adalah, dapat disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal dunia
Berdasarkan uraian tentang pengertian, dasar hukum dan pendapat ulama tentang hukum anak pungut, maka dapat ambil kesimpulan bahwa memungut anak yang tersia-siakan merupakan hal yang Fardu Kifayah bagi umat Islam. Karena dengan memungut anak tersebut maka selain menyelamatkan jiwa juga memungkinkan menyelamatkan anak tersebut dari kemungkinan memeluk non muslim jika dipungut oleh umat non muslim. Dasar hukum yang digunakan sebagai dasar memungut anak yang tersia-siakan sudah sangat jelas baik dari nash Al-Qur’an maupun dari nash Hadits. Setelah anak tersebut dipungut maka status anak tersebut sama dengan anak angkat yaitu secara hukum mawaris tidak bisa menerima warisan dari keluarga yang memeliharanya, maka jika keluarga ingin memberikan bagian untuknya dengan jalan hibah semasa masih hidup atau wasiat dengan jatah maksimal sepertiga dari seluruh harta orang tua pungutnya.
Demikian pula mengenai mahram, ia berstatus sebagai orang lain, sehingga dia bukanlah mahram bagi anggota keluarga orang tua pungutnya. Selama anak pungut tersebut tidak menyusu dengan ibu pungutnya maka saudara dari keluarga pungut berhak untuk menikahinya.
D.      Anak Zina
1.    Pengertian Anak Zina
Zina adalah hubungan badan yang diharaman (diluar hubungan pernikahan) dan di sengaja oleh pelakunya. Zina termasuk perbuatan yang keji dan agamapun tidak menghalalkannya. Oleh karena itu, sanksi hukumannya juga sangat keras sebab zina mengancam kehormatan dan hubungan nasab. Zina di angggap salah salah satu dosa besar dan pelakunya harus di jatuhi sangsi sebagaimana mestinya, seperti hukuman rajam, cambuk, atau setidaknya di permalukan di khalayak umum.
 Allah mengharamkan zina. Larangan ini terdapat di dalam al-quran (QS.Al-Isra’(17):32)
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا (33)
Terjamahan:
Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.
Anak zina adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, sedangkan perkawinan yang di akui di Indonesia, ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Vide pasal 2 (1) dan (2) UU No. 1/1974).
2.    Sumber Hukum
Kriteria minimal anak tersebut dapat dinilai anak zina berdasarkan ayat Al-Qur’an yaitu QS. Luqman ayat 14 yaitu:
يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِير (14)                                                                                                                        
Terjemahan:
Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu.
Dari ayat ini dapat dilihat dengan jelas bahwa lama ibu mengandung dan menyusui anaknya adalah 30 bulan atau 2,5 tahun, ini berarti lama meyusui yang syari’atkan oleh Islam adalah 2 tahun maka bayi yang lahir setelah setengah tahun atau 6 bulan setelah menikah tidak dapat dikatakan anak zina, namun jika lahir sebelum umur menikah 6 bulan maka anak tersebut dapat dikatakan dengan anak zina atau anak di luar nikah. Dengan demikian, anak yang lahir secara tidak sah tersebut terlepas semua hubungan secara hakiki terhadap jalur ayahnya termasuk hal warisan. Namun, meskipun anak tersebut berstatus anak zina, tetap menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh muslim untuk menjaga dan tidak menjelek-jelekkan atau menghina anak tersebut karena pada dasarnya yang bersalah adalah kedua orang tua bukan si anak. Sebagamana Hadits nabi SAW:
كل مولود يولد على الفطرة حتى يعرب عنه لسانه فابواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه
 
Artinya:      
Semua anak dilahirkan atas kesucian/kebersihan (dari dosa dan noda) dan semuanya beragama Islam (tauhid), sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. (HR. Abu Ya’la, Al-Thabarani dan Baihaqi dari Al-Aswad bin Sar’i).

Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam Qs. An-Najm: 38
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْر (38)َ
Terjemahan:
(yaitu) bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Karena itu, anak hasil zina pun harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di masa depan. Yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (materil dan spiritual) adalah ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibunya.
Meskipun status anak tersebut adalah anak zina maka harus dididik secara Islami agar tidak terjerumus dalam lubang yang salah sebagaimana yang telah dialami oleh ‘kedua orangtua’nya.
Mengenai status anak zina ini ada tiga pendapat, yaitu:
a.    Menurut Imam Malik dan Syafi’I, anak zina yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu bapaknya, anak itu di nasabkan kepada bapaknya.
b.    Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka dinasabkan kepada ibunya, karena diduga ibunya itu telah melakukan hubungan seks dengan orang lain. Sedangkan batas waktu hamil, paling kurang enam bulan .
c.    Menurut Imam Abu Hanifah, anak zina tetap di nasabkan kepada suami ibunya (bapaknya) tanpa mempertimbangkan waktu masa kehamilan si ibu.
3.    Pandangan Ulama Tentang Status dan Hukum Anak Zina
Menurut ulama, ada dua akibat nyata yang diterima oleh anak zina dikarenakan perbuatan salah orang tuanya, yaitu:
a.    Hilangnya martabat Muhrim dalam keluarga
Jika anak haram tersebut adalah perempuan, maka antara bapak (pemilik sperma) dengan anak tersebut dibolehkan menikah. Hal ini menurut pandangan imam malik dan Imam Syafii’ yaitu diperbolehkan bagi seseorang mengawini putrinya (anak zina), saudara perempuannya, cucu perempuannya, keponakan perempuannaya yang semuanya dari hasil zina.
Mazhab Syi’ah Imamiyah, Hanafiah dan Hambaliah menyatakan haram menikahi anak hasil zinanya dengan alasan meskipun anak tersebut hasil zina namun tetap dianggap sebagai anak menurut pengertian bahasa dan adat/tradisi. Karena itu haram hukumnya menikahinya. Pendapat ini merupakan pendapat yang berdasarkan alasan akal manusiawi karena melihat secara zhahir bahwa anak tersebut merupakan hasil dari perbuatannya dan secara biologis dia merupakan darah dagingnya sendiri. Menurut mereka bertiga, keharaman tersebut hanya dilihat secara tradisi saja, namun secara syara’ yang shahih mereka juga membolehkan pernikahan tersebut. Secara hak perwalian ketika menikah maka Jumhur Ulama sepakat bahwa orang tua secara biologis tersebut tidak memiliki hak untuk menikahkan anaknya kelak ketika anaknya menikah.
b.   Hilangnya hak waris dalam keluarga
Hukum Islam tidak menetapkan hubungan kewarisan terhadap anak zina kepada bapaknya. Itu karena tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Sedangkan hubungan kekerabatan tersebut timbul karena adanya ikatan nikah, sehingga anak di luar nikah tidak dapat dijadikan hubungan kekerabatan untuk mendapatkan warisan.
Menurut Ahlul-Sunnah dan Mazhab Hanafiah menyebutkan anak zina memiliki hubungan kewarisan dengan ibu dan kerabatnya. Dengan demikian, ia hanya dapat mewarisi dari pihak ibu saja.
Sebagian ulama (Syafi’I, Hambali) berpendapat bahwa akad nikah itu merupakan sebab utama terjadinya nasab antara seseorang dengan orang tuanya. Oleh karena itu jika anak terlahir sebelum usia pernikahan enam bulan maka anak tersebut merupakan anak di luar nikah.
Maka salah satu jalan dari seorang bapak yang dia merasa bertanggung jawab dengan anaknya untuk memberikan hartanya tidak bisa lewat warisan tetapi bisa melalui hibah semasa dia masih hidup atau dengan jalan wasiat asalkan tidak melebihi sepertiga dari jumlah hartanya.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama Republik Indonesia.1997, Qur’an dan Terjemahan..Surabaya : CV, Jayasakti.
Hasan, Ali. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah.1997.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mahfud, SAhal MA. 2004. Aktual Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam keputusan Muktama, Munas dan Kombas Nahdatul Ulama.Surabaya : LLNT NU Jawa Timur dan Diantama, 2004, Cet I.
Mahfudh, Sahal MA.2011.Solusi Problematika Aktual hukum Islam.Surabaya:Khalista.
Mahjudin.2012. Masail Al-Fiqh Kasus-Kasus Aktual dalam Islam.Jakarta: Kalam Mulia.
Masjfuk,Zuhdi.1993. Masailul Fiqhiyah.Jakarta: Haji Masagung.
Nurul Irfan,2016. Hukum Pidana Islam,Jakarta:Amzah.
Syekh Muhammad Yusuf El-Qardlawi, (t.Th), Halal dan Haram dalam Pandangan Islam.Jakarta: PT Bina Ilmu

0 komentar:

Posting Komentar

Segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan.