A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin
antara seorang pria dan wanita sebagai upaya untuk menyalurkan nafsu sexualnya
dalam bentuk rumah tangga yang bahagia sakinah mawaddah warahmah, guna
melanjutkan keturunannya, dan dipandang ibadah bagi yang melaksanakannya, sedangkan
perkawinan lintas agama adalah perkawinan antar agama, yaitu perkawinan yang
dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan
seorang wanita atau pria yang non islam.
B. Perkawinan berbeda Agama Menurut
Islam
Menjaga kelestarian iman merupakan prinsip utama yang tidak
boleh diutak-atik. Semua perangkat syari'ah dikerahkan untuk menjaga
eksistensinya. Bahkan kalau perlu nyawa harus direlakan. Dalam ushul fiqih
dijelaskan, term ini disebut hifdz al-din, yang menempati rangking satu dalam
urutan hal-hal yang sangat dipelihara Islam.
Barangkali, persoalan nikah beda agama dapat dipahami dalam
segmen ini. Islam tidak mau menjerumuskan umatnya ke lembah neraka. Karena itu,
Islam sama sekali tidak mentolelir pernikahan dengan kaum atheis (orang yang
tidak bertuhan). Larangan ini sangat tegas dan jelas karena menikah dengan
orang musyrik atau musyrikah akan menuntun pada jalan neraka sebagaimana firman
Allah dalam QS. al-Baqarah/2:
221, yang berbunyi:
وَلَا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ
مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ
يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ
أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ (221)
Terjemahan:
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.
Mayoritas ulama yang memberikan
qayyid (catatan) bahwa keharaman pernikahan beda agama tidaklah mutlak akan
tetapi tetap diperbolehkan bagi pria muslim dengan wanita ahlul kitab. Dalam
hal ini para ulama melakukan kajian tafsir yang mendalam kaitannya dengan ayat
tersebut. Menurut para ahli tafsir, yang disebut dengan musyrik/musyrikah
adalah mereka yang mengingkari wujud Tuhan (atheis), tidak percaya pada nabi
dan hari kiamat. Lalu bagaimana dengan mereka yang bukan atheis? Untuk
mengklarifikasi masalah ini, maka dapat dilihat dalam firman Allah QS. al-Bayyinah/98: 1, yang berbunyi:
لَمْ
يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ
حَتَّىٰ تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ (1)
Terjemahan:
Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan
orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan sebelum datang kepada mereka bukti
yang nyata.
Ayat ini memberi informasi, bahwa
orang kafir ada dua macam, yakni orang musyrik dan ahli kitab. Yang
disebut ahlul kitab adalah
mereka yang berpedoman pada agama (kitab) samawi. Sedangkan yang disebut
musyrik adalah mereka yang tidak mengakui Tuhan, nabi, hari akhir, dan berbagai
doktrin agama samawi. Dengan kata lain, musyrik adalah mereka yang tidak
bertuhan. Atau, mereka masih mengakui Tuhan, akan tetapi tidak berdasar pada
agama samawi.
Dengan pemahaman ini, kita bisa memilih agama-agama yang ada
di belahan bumi. Sejarah mengatakan, yang termasuk agama samawi tentunya
mempunyai kitab samawi adalah Yahudi dan nasrani. Dengan demikian hanya mereka
yang berhak menyandang gelar ahlul kitab. Di luar itu, termasuk musyrikin. Menikah
dengan wanita musyrik jelas tidak diperbolehkan, namun dengan ahlul kitab ada
dasar yang membolehkan yakni al-Qur'an QS. al-Maidah/5: 5, yang berbunyi:
وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ
قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ
عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (5)
Terjemahan:
Wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka
hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
Menyikapi ayat ini para ulama berbeda pendapat, Ibnu Umar
mengatakan bahwa kebolehan menikahi ahlul kitab adalah rukhsah karena saat itu
jumlah wanita muslimah relatif sedikit. Ketika jumlah mereka sudah imbang,
bahkan jumlah kaum wanita lebih banyak, maka rukhsah itu tidak berlaku lagi. Alasan
lain untuk melarang ahlul kitab adalah kata min qablikum (sebelum kamu).
Maksudnya sebelum turunnya al-Qur'an. Dengan qayyid (catatan) ini, maka yang
boleh dinikahi adalah wanita ahlul kitab yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani
sebelum al-Qur'an diturunkan. Sedangkan wanita-wanita itu sekarang ini tidak
jelas tidak ada lagi. Secara psikologis, pendapat Ibnu Umar bisa dipahami.
Karena si anak dalam bahaya. Lazimnya, anak lebih akrab dengan sang ibu. Ketika
ibunya Nasrani misalnya, peluang anak menjadi Nasrani lebih besar.
Sekalipun demikian, peluang untuk menikah dengan ahlul kitab tetap
terbuka. Sebab banyak para ulama yang berpegang teguh pada dzahir ayat yang
memperbolehkan nikah dengan ahlul kitab. Di kalangan sahabat sendiri tercatat sederet nama yang
menikah dengan ahlul kitab.
Walaupun berakhir dengan perceraian. Mereka yang pernah menikah dengan ahlul kitab antara
lain Usman bin Affan, Hudzaifah, Sa'ad bin Abi Waqqas, dan lain-lain. Dalam
kitab I'anatut Thalibin misalnya, Imam Abi Bakar menyatakan bahwa menikahi
wanita ahlul kitab
diperbolehkan. Dalam hal ini pernikahan dengan ahlul kitab bisa
ditolerir. Sebab dalam aspek teologis, konsep ketuhanan, rasul, hari akhir, dan
prinsip-prinsip agama banyak persamaan. Dengan kesamaan ini, mahligai rumah
tangga yang merupakan
tujuan pernikahan- sangat mungkin terealisasi. Di samping itu, dengan kesamaan
itu pula, peluang untuk menarik istri ke Islam bukan sesuatu yang mustahil.
Hanya saja perlu diingat bahwa kebolehan menikah dengan ahlul
kitab hanya berlaku bagi lelaki muslim dengan wanita ahlul kitab. Bukan
sebaliknya. Sekali lagi ini untuk menjaga iman. Sebab, lumrahnya, istri mudah
terpengaruh. Jika diperbolehkan, mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke agama
lain.
Persoalan terakhir yang perlu klarifikasi adalah apakah
agama yang ada di Indonesia bisa masuk dalam ahlul kitab? Untuk agama Hindu,
Buda dan Konghuchu jelas tidak bisa, karena bukan agama samawi, yang tentunya
konsep ketuhanannya jauh berbeda.
Sedangkan untuk Kristen Protestan dan Katolik, ada
kemungkinan. Kita sebut ada kemungkinan, sebab ada yang mensyaratkan nenek
moyang mereka memeluk Kristen sebelum dinasakh. Persyaratan ini untuk konteks
Indonesia, sulit dilacak, kalau tidak dikatakan mustahil. Sebab agama Kristen
baru datang belakangan. Sebelum itu, warga Indonesia sudah memeluk Hindu, Buda,
dan Islam. Dengan kata lain, Kristen yang ada sekarang adalah keturunan mereka
yang 'murtad' dari Hindu, Buda, dan Islam. Jika persyaratan ini bisa diterima,
peluang untuk menikah dengan orang Kristen dan Katolik tertutup rapat-rapat.
Jika mengikuti alur jumhur, peluang itu tetap ada, sebab
persyaratan itu tidak ditemukan dalam ayat. Ayat kelima surat Al-Maidah
memperbolehkan menikahi ahlul kitab dengan tanpa catatan. Bahkan Syekh Nawawi
menyatakan, boleh menikah dengan ahlul kitab, sekalipun nenek moyang mereka
masuk Kristen dan Katolik setelah agama itu dinasakh.
Namun pada masa sekarang ini, kitab orang Kristen dan
Katolik telah mengalami perubahan dari kitab aslinya. Ajaran-ajarannya sudah
banyak menyimpang dan tidak lagi sesuai pada fitroh manusia, sehingga dengan
demikian untuk menemukan seorang Yahudi dan Nasrani yang ahlul kitab sudah
sangat sulit. Dan perlu kita ketahui hakikatnya kitab kaum Yahudi dan Nasrani
juga mengajarkan tentang keesaan Tuhan, tidak mengajarkan menyembah selain
Allah ataupun Tuhan-tuhan lainnya. Maka mereka yang ahlul kitab pastilah mereka
juga akan mengakui Islam agama kebenaran, karena kitab-kitab yang Allah pernah turunkan
kepada Rasul-rasul-Nya, semuai isi ajaran kitabnya mengarah ke Islam. Jadi kalau
kita lihat kaum Yahudi dan Nasrani sekarang ini yang mengakui atau menyembah
Tuhan selain Allah maka bisa dipastikan kitabnya tidak lagi asli, ajarannya
telah menyimpang maka mungkin saat ini ahlul kitab dari agama Yahudi dan
Nasrani sudah tidak lagi.
0 komentar:
Posting Komentar
Segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan.