SEBAB-SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT

 
A.      Pengertian Mazhab
Menurut bahasa, mazhab berarti jalan atau tempat yang dilalui. Kata mazhab berasal dari kata dzhaba, yadzhubu, dzahaaba. Mazhab juga berarti pendirian atau al-mu ‘taqad. Menurut istilah, para fiqih mazhab mempunyai dua pengertian yaitu pendapat dari seorang imam mujtahid tentang hukum suatu masalah dan kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang imam.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mazhab berarti hasil ijtihad seorang imam mengenai hukum suatu masalah atau tentang kaidahh-kaidah istinbath. Mazhab menurut pengertian pertama, yakni hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah adalah identik dengan fiqih atau hasil ijtihad mengenai sesuatu hukum. Misalnya, menyentuh wanita bukan mahram membatalkan wudhu, menurut Mazhab Syafi’i. Dengan demikian, mazhab hanya terdapat dalam masalah-masalah zhanniyah atau ijtihadiyah, atau furuiyyah. Oleh karena itu, tidak benar apabila dikatakan bahwa hukum shalat lima waktu adalah wajib menurut mazhab syafi’i. Sebab, hukum  wajibnya shalat lima waktu termasuk ke dalam suatu masalah yang status hukumannya bersifat qath’i. Lebih jelasnya, mazhab menurut pengertian pertama adalah hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu permasalahan yang belum ditegaskan oleh nash. Mengenai suatu masalah yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash, yang mampu melakukan ijtihad wajib berijtihad dan mengamalkan hasil ijtihadnya. Sedangkan, yang tidak mampu melakukan hasil ijtihad salah seorang imam mujtahid.
Menurut Abu Hasan al-Kayya, bahwa bermazhab dengan pengertian yang pertama adalah untuk orang awam, ahli fiqih, atau ulama lain yang belum sampai pada tingkat mujtahid. Sedangkan bermazhab, menurut pengertian kedua itu adalah untuk ulama yang tidak sanggup merumuskan kaidah-kaidah istinbath. Apabila mereka hendak menggali hukum untuk suatu permasalahan, mereka harus bermazhab, berpegang pada kaidah-kaidah istinbath yang dianut oleh imamnya.
Ada yang berpendapat bahwa studi perbandingan mazhab itu tidak bermanfaat secara praktis, baik bagi kehidupan perorangan maupun kelompok, baik dalam soal ibadah maupun dalam muamalah. Pendapat ini lahir karena berorientasi pada mazhab tertentu sebagaimana berikut :
a.    Sebagian ulama telah menetapkan bahwa bagi orang yang telah menganut mazhab tertentu tidak dibenarkan berpindah mazhab, dan taklid kepada mazhab tertentu, tidak boleh bertaklid kepada mazhab lain dalam bebarapa masalah.
b.    Ulama Hanafiyah telah menetapkan pula suatu ketentuan yang sangat mengikat, yaitu ‘’Mereka (Ulama Hanafiyah) telah menetapkan bahwa tidaklah dibenarkan bagi ulama muta’akhirin untuk membahas atau mentarjih masalah-masalah yang telah dibahas dan ditarjih oleh ulama terdahulu dan wajib bagi mereka mengikuti apa yang sudah ada.
Jika demikian halnya, yaitu berorientasi kepada pemikiran mazhab, studi perbandingan mazhab tidak ada faedahnya karena tidak bisa diambil manfaatnya. Sebab, mengamalkan hasil muqarranah  memungkinkan, terjadinya perpindahan mazhab dan taklid kepada beberapa mazhab dalam berbagai masalah. Alasan bahwa mengamalkan hasil muqarranah itu memungkinkan untuk melakukan berbagai pendapat dalam sebagian masalah, yang kemungkinan tidak dibenarkan oleh semua mazhab yang ada karena campur aduk. Kedudukan mazhab yang semua merupakan pemikiran atau pemahaman atau pendapat yang diterima dan ditolak oleh tidak benar atau kurang tepat, yakni tidak boleh seorang pun tidak bermazhab atau menyimpang dari mazhabnya dan mengikuti mazhab lain.
Sikap tersebut memberikan pengaruh dan akibat yang negatif, yang menghalangi umat islam untuk menikmati pembahasan hukum dari sumbernya (Al-Quran dan hadis). Sekaligus, menghalangi mereka untuk memetik buah studinya dari kedua nash tersebut. Akibatnya, yang paling berbahaya bagi umat islam adalah timbulnya apatisme sehingga ajaran islam yang seharusnya berkembang dan dinamis menjadi beku dan statis.
B.       Lahirnya Madzhab-Madzhab Fiqih
Mengutip dari buku Fiqh 4 Madzhab : Fiqh dan Ushul Fiqh yang ditulis oleh Dr. H. Opik Taupik K, M.Ag dan Ali Khosim Al-Mansyur, M.Ag, madzhab-madzhab fiqh lahir pada masa peradaban Daulah Abbasiyah yang merupakan masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah “The Golden Age”. Pada masa ini umat Islam telah mencapai puncak kejayaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendekiawan-cendekiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Banni Abbas mewarisi imperium besar Bani umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqih Islam, dimana lahir beberapa madzhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqih agung yang berjasa mengintegrasikan fiqih Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadikan landasan kokoh bagi setiap ulama fiqih sampai sekarang.
Pada dasarnya periode ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran di bidang fiqih yang diwakili madzhab-madzhab ahli hadits dan ahli ra’yu merupakan penyebab timbulnya madzhab-madzhab fiqih, dan madzhab-madzhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran madzhab-madzhab hukum dan dua abad kemudian madzhab-madzhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakuan istinbat hukum.
Kelahiran madzhab-madzhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam madzhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Madzhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash Al-Quran dan al-Hadits maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam madzhab tersebut berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan tanpa ia sadari menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum dimana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau madzhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut madzhab dalam melakukan istinbath hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh para imam madzhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istinbath hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut ushul fiqih.
Sampai saat ini Fiqih ihktilaf terus berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah furu’iyyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan mengistinbathkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi anatara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang mewajibkan madzhab dan yang melarangnya.
Perbedaan pendapat dikalangan umat ini, sampai kapanpun dan di mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah yang kemudian melahirkan madzhab-madzhab Islam yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing madzhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk diantaranya adalah pandangan mereka terhadap kedudukan Al-Quran dan al-Sunnah.
C.      Sebab-Sebab terjadinya Perbedaan Pendapat Mazhab Fiqih
Perbedaan dalam bahasa arab dikenal dengan kata ikhtilaf atau khilaf. Perbedaan pendapat dalam fiqih merupakan perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan akal pikiran, karena apabila ditinjau dari sebab-sebab musababnya secara global, perbedaan itu dibagi dua, yaitu: 
1)        Perbedaan yang Disebabkan Budi  Pekerti (Moral)
Perbedaan yang disebabkan moral itu biasanya dikarenakan terlalu menganggap  cukup dengan melihat permukaan suatu masalah saja dan tidak mau mendalami dengan seksama dan teliti, seperti su’uzhon dengan orang lain, fanatik buta terhadap pendapat seorang atau mazhab dan golongan tertentu ini tegolong ikhtilaf yang tercela.
2)        Perbedaan yang Disebabkan Akal Pikiran.
Perbedaan yang disebabkan akal pikiran adalah perbedaan pandangan dalam suatu masalah, baik masalah ilmiah seperti perbedaan dalam cabang-cabang syari’at islam, atau bersifat aqidah, politik dan lain-lain. Perbedaan pandangan itu dikarenakan perbedaan kemampuan akal ditambah pengaruh-pengaruh sampingan yang mempengaruhi akal, seperti lingkungan, zaman, situasi, dan kondisi, baik bersifat positif atau negatif.
Dalam induktif dapat diketahui bahwa sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam ilmu fiqih, dapat diklasifikasikan ke dalam empat sebab induk yaitu :
1.        Perbedaan Pendapat dalam Menilai Otensitas Nash
Perbedaan dalam menilai otensitas nash merupakan sebab perbedaan pendapat yang paling utama, karena nash syara’ adalah sumber yang paling utama dalam menggali hukum, maka apabila nash itu otentik, pastilah hukumnya otentik juga dan tak ada seorang pun yang berani menyanggah. Akan tetapi, sementara orang menyalah tafsirkan ungkapan tersebut dengan menyatakan bahwa maksud ungkapan tersebut adalah apabila hadits sampai kepada mujtahid barulah diamalkan walaupun hadits itu dhaif, dan apabila tidak sampai, maka ia berpikir sendiri mengenai hukum, dan bila telah ada kesimpulan, walaupun kemudian beliau menemukan hadits shahih, tetap beliau tinggalkan, alias tidak mau mengamalkannya. Sangkaan ini sungguh keliru, karena para mujtahid mengatakan, bila hadits betul itulah mazhabku. Riwayat widup para mujtahid membuktikan, tidak seorang pun di antara mereka yang tidak mengamalkan hadits shahih dan qath’i itu mereka berbeda pendapat. Dalam masalah otensitas nash, dapat diuraikan sebagai berikut :
a.    Perbedaan Mengenai Kehujjahan Hadits Mursal
Dalam istilah syara, hadits mursal ialah hadits yang diriwayatkan orang sesudah sahabat (tabiin) dan Nabi. Dalam masalah ini Sharakhsy menguraikan, hadits Mursal kurun pertama dan kedua adalah hujjah dalam mazhab Hanafy, sedangkan menurut Syafi’iy hadits tersebut tidak boleh menjadi ‘’dalil’’ kecuali bila didukung oleh ayat atau hadits masyhur yang lain.  
b.    Perbedaan Mengenai Keingkaran Perawi terhadap Hadits yang Dirawinya
Para ulama berbeda pendapat mengenai hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi, kemudian ia lupa, ataupun mengingkarinya, maka Abu Hanafiyah dan Abu Yusuf menganggapnya tidak boleh dijadikan pegangan, sedangkan Imam Syafi’iy hadits tersebut dan Muhammad (Murid Abu Hanafiyah) berpendapat hadits tersebut adalah dalil syara’ yang shah untuk diamalkan.
c.    Perbedaan Penilaian terhadap Hadits Mastuur
Almastuur menurut ilmu Mushthalah Hadits ialah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang, tetapi seorang pun di antaranya tidak pernah diteliti akan sifatnya. Sebagian ulama menggap ‘’mastuur’’ itu ‘’adil’’ kalau mereka hidup dalam kurun waktu tiga abad pertama hijrah, maka haditsnya diterima, karena pada dasarnya, orang islam itu baik dan dapat dipercaya. Sementara sebagian ulama lain menganggap orang ‘’mastuur’’ itu ‘’fasiq’’, sehingga diriwatanya tidak dapat diterima, demi ‘’kehati-hatian’’ dalam masalah agama.  
2.        Perbedaan dalam Memahami Nash Syara’
Nash-nash syara’ baik Al-Quran ataupun Hadits yang otentisitasnya telah terjamin dan pasti, namun para ulama sangat boleh jadi berbeda pendapat dalam memahami dan memetik hukum dari padanya. Hal yang demikian ini dapat dilihat  dua segi, yaitu :
a.     Dari Segi Nash Itu Sendiri
Sebagaimana dimaklumi bahwa bahasa arab terkenal sebagai bahasa yang paling kaya dengan sinonim dan homonim, yang menyebabkan satu kata atau satu kalimat terkadang mengandung arti lebih dari satu (lafdzun musytarakun) dan (musytarakun makanwiyyun). Para ahli bahasa telah menetapkan beberapa ciri (qaraain) untuk memudahkan, seperti kata ‘ainun’ berarti mata (biasa), mata air, mata-mata dan lain-lain.
Oleh karena itu tidaklah aneh apabila kata sinonim dan homonim terdapat dalam suatu nash Syara’, baik ayat Al-Quran ataupun Hadits. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami dan menalarnya, serta dalam meniliti apakah gerakan yang dimaksudkan Allah dengan kata yang mengandung makna itu, sebab para ulama menyadari benar-benar bahwa yang berhak membuat hukum hanyalah Allah sendiri.
b.    Dari Segi Mujtahid itu Sendiri
Walaupun bagaimanapun faktor penggali hukum tetap menjadi salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat, karena sebagai mana dimaklumi bahwa manusia meskipun rambutnya hitam, namun daya pikir, nalar dan kecerdasan mereka tetap berbeda, sebagaimana berbedanya sidik jari.
3.        Perbedaan Dalam Menjama’ dan Mentarjih Nash
            Apabila terdapat dua buah nash atau lebih, yang nampaknya bertentangan, maka sudah pasti tidak mungkin semuanya diamalkan. Oleh karena itu para mujtahid menempuh dua jalan, yaitu mempertemukan dan mengamalkan kedua-duanya (jama’) selama memungkinkan, sedangkan bila tidak memungkinkan, mereka terpaksa memilih salah satu diantaranya (tarjih). Kedua cara ini juga merupakan sebab utama bagi timbulnya perbedaan pendapat dikalangan para pakar.
Masalah jama’ dan tarjih termasuk masalah yang amat rumit dalam ilmu fiqih, karena sebelum dapat ijma’ atau tarjih diperlukan pemahaman dan pengahayatan yang mendalam terhadap nash, sehingga sebagian besar nash yang seharusnya dapat dipersatukan, tetapi karena kedangkalan pemahaman dan penghayatan terhadap nash, maka nampaknya ia tidak dapat dijama’kan, sehingga ditarjihkan saja.
4.        Perbedaan Pendapat Mengenai Qaidah-Qaidah Ushul dan Beberapa Dalil Syara’
Masalah perbedaan pendapat ulama yang disebabkan berbeda pandangan terhadap qaidah-qaidah usul dan beberapa dalil syara’ ini, dapat diklasifikasikan ke dalam lima bagian yaitu : 
a.    Perbedaan Pendapat Ulama mengenai Kehujjahan Ijma’ Ahli Madinah
Sebagaimana dimaklumi bahwa Imam Maliki menyakini bahwa ijma’ penduduk Madinah adalah hujjah yang sah dalam mendung syara’,sebagaimana jelas terlihat dalam surat beliau kepada Imam Allatas bin Sa’ad, pelopor mazhab Laitsiy di Mesir. Dalam surat tersebut beliau mengatakan, ‘’Sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam Al-Quran dan mereka itulah orang-orang islam pertama-pertama dari Mujahirin dan Anshar ( Al-Baqarah, ayat 100) dan firman Allah maka berilah berita gembira kepada hamba-hambaku yang mendengar ucapan dan mengikuti yang baik-baik diantara ‘’ (Az-zumar, ayat 17) dan orang-orang yang mengikuti penduduk Madinah, karena kesanalah Nabi berhijrah dan disanalah turun ayat-ayat yang menghalalkan dan mengharamkan, mereka menyaksikan turunnya wahyu, apabila Rasul menyuruhnya langsung mereka tinggalkan. Demikianlah sampai beliau wafat di tengah-tengah mereka dan dikebumikan pula diperkampungan mereka. Kemudian mereka pun menjadi tumpuan para ulama yang ingin mengetahui hukum syara’.
Sementara itu Jumhur Ulama, termasuk Abu Hanifah, Syafi’iy dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa perbuatan penduduk Madinah itu bukan Hujjah, kecuali kalau sudah menjadi ijma’ ummat.
b.    Perbedaan Pendapat mengeni Kehujjahan Mafhum Mukaalafah
Mafhum mukhaalafa dalam usul fiqih adalah lafazh yang mangandung pegertian bahwa yang dimaksud adalah lawan dari yang disebutkan. Secara umum dalam masalah ini, para ulama terbagi kepada dua pendapat besar, yaitu : jukhur ulama yang berpendapat, bahwa mafhum mukhaalafah adalah dalil syara’ dengan bersyarat, sedangkan Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mafhum mukhaalafah tidak dapat dijadikan dalil.
c.    Perbedaan  Pendapat Ulama dalam Menghadapi Pertentangan Dalil ‘Am dengan Dalil Khash
Para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan membawa ‘am kepada khash bila antara keduanya (‘am dan khash) terdapat pertentangan, sejalan dengan perbedaan pendapat mereka mengenai ‘am dan khas itu sendiri.
Jumhur berpendapat bahwa seluruh dalil yang bersifat ‘am statusnya adalah zhanni (tidak pasti), maka perlu dibawah kepada yang bersifat khash, yang statusnya qath’i (pasti), selama memungkinkan, lalu yang khash itulah yang diamalkan. Kalau tidak dapat dibawa, maka barulah yang ‘am itu diamalkan. Berbeda dengan Hanafiyah yang berpendapat bahwa dalil-dalil yang bersifat ‘am itu statusnya qath’i, maka langsung dapat diamalkan tanpa harus dikembalikan kepada yang khash terlebih dahulu, baik terdapat pertentangan ataupun tidak.
d.   Perbedaan Pendapat Ulama dalam Menghadapi Pertentangan antara Dalil yang Muthlaq dengan yang Muqayyad
            Mirip dengan perbedaan pendapat pada nomor 3 di atas, Jumur Ulama berpendapat bahwa bila bertentangan antara nash muthlaq dengan muqayyad, maka sebelum diamalkan, nash itu harus dibawa kepada muqayyad terlebih dahulu, bila memenuhi syarat-syarat yang dirincikan di dalam kitab-kitab Ushul fiqih, sementara Abu Hanafiyah berpendapat sebaliknya.
e.    Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Perbuatan Perawi yang Berlawanan dari apa yang Diriwayatkan
            Apabila seorang perawi meriwayatkan sebuah hadits, lalu ia melakukan perbuatan yang berlawanan dengan hadits yang dirawikan. Apabila riwayatnya yang diterima ataukah perbuatannya yang dijadikan pegangan, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Jumhur Ulama berpendapat bahwa yang dipegang ialah hadits yang diriwayatkannya, bukan perbuatannya.
Tetapi Abu Hanifah berpendapat, bahwa yang jadi pegangan ialah perbuatannya, bukan hadits yang diriwayatkannya, karena perbuatan itu dapat dianggap sebagai ‘pembatal’ (naasikh) dan berarti juga ia telah mengkrtik hadits tersebut dengan perbuatannya serta ia tidak percaya kepada kebenaran hadits itu, sehingga berbuat sebaliknya.
Sedangkan Jumhur berpendapat bahwa yang dipegang adalah hadits atau nash yang diriwayatkan, bukan perbuatan yang dilakukan, karena boleh jadi ia tidak sanggup berbuat karena keuzuran atau sebab-sebab lain, atau pun ia beramal sesuai dengan ‘ijtihadnya’, sedangkan ijtihadnya itu tidak wajib harus dipegang orang lain. 


DAFTAR PUSTAKA 
Abbas Arfan. Geneologi Pluralitas Mazhab Dalam Hukum Islam . Cet. I ; Malang ; UIN-Malang pers. 2008.
Suyanto. Dasar-Dasar Usul Fiqh & Usul Fiqh. Cet. I ; Jogjakarta : Ar-Ruzz Media. 2011. 
Muslim ibrahim. Pengantar Fiqh Muqaaran. Cet. II  ; Jakarta : P.T.Gelora Aksara Pratama. 1991. 
Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. Cet.  III  ; jakarta : PT Raja Grafinda Perseda. 1998.

0 komentar:

Posting Komentar

Segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan.