BUNUH DIRI DAN EUTHANASIA

A.  Pengertian Bunuh Diri
Bunuh diri adalah tindakan mengakhiri hidup sendiri tanpa bantuan aktif orang lain. Alasan dan motif bunuh diri bermacam-macam, namun biasanya didasari oleh rasa bersalah yang sangat besar, karena merasa gagal untuk mencapai sesuatu harapan. Menurut Imam Shalahuddin Al-Jalili bunuh diri merupakan gambaran dari keputusasaan yang sudah mencapai titik klimaks. Sepertinya, sudah tidak ada harapan hidup lagi, juga tidak ada kebahagiaan yang bisa diraih, karena itu bunuh diri sebagai jalan keluarnya.
Bunuh diri adalah salah satu perbuatan tercela dengan menghakimi diri sendiri secara berlebihan dan ingin mendahului takdir kematian yang telah ditentukan oleh Ilahi Robbi dengan usaha bunuh diri dilakukan dengan berbagai cara. Bunuh diri ini ada unsur pemaksaan kehendak Ilahi, sehingga dirinya melakukan usaha bunuh diri berarti cenderung menguatkan kehendak nafsu dan egosentris semata, sehingga akal pikiran yang jernih tidak mampu untuk menganalisa resiko dan akibat dosa bunuh diri itu sendiri.
B.  Tipe Bunuh Diri
Menurut Emile Durkheim ada tiga tipe bunuh diri yang didasarkan pada integrasi sosial (kemampuan individu untuk terikat pada tatanan masyarakat). Tiga tipe bunuh diri itu meliputi: bunuh diri egoistik (egoistic suicide), bunuh diri altruistik (altruistic suicide), bunuh diri anomik (anomic suicide) dan bunuh diri fatalistik (fatalistic suicide).
1.        Bunuh diri egoistik (egoistic suicide)
Bunuh diri egoistik adalah bunuh diri akibat terlalu sedikitnya integrasi sosial yang dilakukan individu. Maksudnya, individu tidak cukup untuk melakukan pengikatan diri dengan kelompok sosial. Akibatnya adalah nilai-nilai, berbagai tradisi, norma-norma serta tujuan-tujuan sosial pun sangat sedikit untuk dijadikan panduan hidupnya.
2.        Bunuh diri altruistik (altruistic suicide)
Bunuh diri ini terjadi akibat hasil dari integrasi sosial yang terlalu kuat. Individu sedemikian menyatu dengan kelompok sosial, sehingga kehilangan pandangan terhadap keberadaan individualitas mereka sendiri. Puncaknya mendorong untuk berkorban demi kepentingan kelompoknya.
3.        Bunuh diri anomik (anomic suicide)
Bunuh diri ini terjadi karena adanya tidak ketidakstabilan dalam kondisi ekonomi dan sosial seperti dengan tiba-tiba kehilangan pendapatan atau pekerjaan.
4.        Bunuh diri fatalistik (fatalistic suicide)
Bunuh diri fatalistik merupakan akbat dari regulasi atau pengaturan yang berjalan secara bersambung dan berlebihan terhadap kehidupan individu. Di sini individu merasakan hidupnya tidak berharga karena sedemikian tertindas atau dibatasi ruang geraknya. Fenomena banyak orang yang mengakhiri hidupnya secara tragis tak terlepas dari fakta bahwa masyarakat di kota-kota besar mengalami tekanan social atau tekanan kelompok yang sangat serius.
  
C.  Bunuh Diri Menurut Pandangan Islam
Bunuh diri menurut Islam sangat diharamkan, karena sama halnya mendahului ketentuan mati, dimana hidup dan mati hanya Allah yang mempunyai kuasa untuk hal itu. Apabila seorang mati dengan cara bunuh diri pasti kelak di akhirat mendapat siksa dan cara matinya pula tidak di ridhoi Allah, sehingga neraka menjadi tempat kembalinya orang yang mati dengan cara bunuh diri. Allah berfirman dalam Q.S an-Nisa’/4: 29-30, yang berbunyi:
....وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29) وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (30)                                                                                                             
Terjemahan:
Janganlah kalian membunuh diri kalian, sesunguhnya Allah Maha Penyayang. Dan barangsiapa berlaku demikian dan melanggar hak dan aniaya, maka kami akan memasukannya ke dalam neraka, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
Dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim pula disebutkan bahwa Rasulullah bersabda yang artinya: “telah ada diantara orang-orang sebelum kamu seorang lelaki yang mendapat luka, lalu kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu kemudian tidak berhenti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan, aku mnegharamkan surga untuknya”
Ayat al-Qur’an dan hadist tersebut di atas dengan jelas menunjukkan, bahwa bunuh diri itu dilarang keras oleh Islam dengan alasan apapun. Allah tidak meyukai sikap hidup seseorang yang berputus asa dan berbuat bunuh diri karena mendahului takdirnya. Sehingga pantaslah, Allah mengharamkan surga pada orang yang berbuat bunuh diri. 
D.  Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa yunani “Euthanatos” yang terbentuk dari kata “eu” dan “thanatos” yang masing-masing berarti baik dan mati. Jadi euthanasia artinya membiarkan seorang mati dengan baik. Kata ini juga didefinisi sebagai pembunuhan dengan belas kasih terhadap orang sakit, luka-luka, atau lumpuh yang tidak memiliki harapan sembuh, dan didefinisikan pula sebagai pencambutan nyawa dengan sebisa mungkin tidak menimbulkan rasa sakit seorang pasien yang menderita penyakit parah dan mengalami kesakitan yang sangat menyiksa. Istilah pertolongan medis adalah agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya. Menurut Dr. H. Ali Akbar, euthanasia mempunyai pengertian:
1.        Kematian yang mudah dan tanpa sakit.
2.        Usaha untuk meringankan penderitaan orang yang sekarat dan bila perlu untuk mempercepat kematiannya.
3.        Keinginan untuk mati dalam arti baik.
Dari pengertian-pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa euthanasia adalah usaha dan bantuan yang dilakukan untuk mempercepat kematian seseorang yang menurut perkiraan sudah hampir mendekati kematian, dengan tujuan untuk meringankan atau membebaskannya dari penderitaannya.
Dilihat dari segi orang yang berkehendak, euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar). Tetapi tidak pernah ditemukan tindakan euthanasia yang dikehendaki oleh dokter tanpa persetujuan pasien ataupun pihak keluarga, karena hal ini berkaitan dengan kode etik kedokteran, yaitu dokter  tidaklah diperbolehkan menggugurkan kandungan (abortus provocatus), dan mengakhiri hidup seseorang pasien yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi.
Dalam dunia medis dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif.
1.    Euthansia Aktif
Euthanasia aktif yaitu apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya dengan sengaja melakukan suatu tindakan untuk mengakhiri hidup pasien. Yang termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini adalah jika kondisi pasien berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup. Dengan kata lain, tanda tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan. Sebagai contoh euthanasia aktif, seorang pasien yang dirawat gawat darurat di rumah sakit dengan peralatan majemuk untuk menolong jantung, pernafasan, dan cairan tubuh, yang kesemuanya berfungsi dengan baik, namun alat-alat tersebut dihentikan penggunaannya sehingga jantung dan pernafasan tidak dapat bekerja dan akan berhenti berfungsi. Atau memberikan obat penenang dengan dosis yang melebihi yang juga akan menghentikan fungsi jantung. Demikian pula dapat disebut euthanasia aktif, jika obat-obatan dan segala prosedur lain, digunakan justru untuk menyebabkan atau mempercepat kematian pasien.
2.    Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif adalah tindakan yang membiarkan si pasien dalam keadaan tidak sadar tanpa memberikan bantuan medis sehingga berakibat kematian pada si pasien, karena berdasarkan pengalaman maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi  padanya. Sebagai contoh seorang yang salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah seperti bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah yang terlalu tinggi, atau tidak berfungsinya jantung dan lain sebagainya.
Euthanasia pada hakikatnya adalah pencabutan nyawa seseorang yang menderita penyakit parah atas dasar permintaan si pasien atau keluarganya. Euthanasia masih menimbulkan problem keagamaan, hukum dan moral di semua budaya dan tradisi keagamaan. Seperti halnya agama-agama lain, Islam menjunjung tinggi jiwa. Dalam Islam kedudukan jiwa sangat dihargai. Cukup banyak ayat al-Qur’an dan hadis yang mengharuskan kita untuk menghargai jiwa. Dalam Q.S an-Najm/53: 44, yang berbunyi:
(44) وَأَنَّهُ هُوَ أَمَاتَ وَأَحْيَا
Terjemahan:
Dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan.

Dalam Q.S al-Hijr/15: 23, yang berbunyi:
ووَإِنَّا لَنَحْنُ نُحْيِي وَنُمِيتُ وَنَحْنُ الْوَارِثُونَ (23)
Terjemahan:
Dan sesungguhnya benar-benar Kamilah yang mnghidupkan dan mematikan dan Kami pulalah yang mewarisi.
Tindakan merusak ataupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah. Agar supaya manusia tidak memandang remeh terhadap jiwa manusia, maka Allah memberikan ancaman bagi mereka yang meremehkanya. Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, peraturan pidana Islam menetapkam hukuman mati bagi yang melakukan tindak pidana tertentu dengan tujuan mencegah terjadinya kejahatan. Dalam Q.S. an-Nisa/4: 93 Allah Swt. berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا                       
 
Terjemahan:
Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah neraka jahanam, ia kekal di dalamnya. Allah mengutuknya dan menyediakan baginya siksaan yang pedih.
Ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa perbuatan membunuh dilarang keras oleh Islam, azab dan penderitaan yang sangat berat telah disediakan di akhirat kelak bagi orang yang senantiasa dengan mudahnya membunuh jiwa manusia.
E.  Euthanasia Menurut Pandangan Islam
Terjadinya euthanasia tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan atau faktor-faktor berikut ini:
1.    Faktor Pihak Pasien
Pasien yang meminta kepada dokter untuk dilakukan euthanasia karena merasa tidak tahan lagi menderita sakit, atau karena penyakitnya yang sudah terlalu gawat, atau pertimbangan lain bisa juga karena pasien tidak ingin meninggalkan beban ekonomi yang terlalu berat bagi keluarga akibat biaya pengobatan yang mahal, atau pasien sudah merasa bahwa ajalnya sudah diambang pintu, paling tidak, harapan untuk sembuh terlalu jauh. Menyikapi pertimbangan-pertimbangan diatas, menunjukkan bahwa ini semua adalah suatu refleksi dari kelemahaan iman. Sakit adalah satu satu bentuk ujian kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan dengan mengakhiri kehidupaan melalui euthanasia. Kalaupun pandangan medis bahwa pasien tidak dapat disembuhkan, atau biaya pengobatannya yang makin bertambah mahal, maka tidaklah salah kalau ia meminta pulang dari rumah sakit, bilamana diyakini apabila pengobatan dihentikan, ia akan meninggal dunia, tindakan keluar dari rumah sakit atau penghentian pengobatan tidak berarti bunuh diri. Pemulangan seperti ini sudah sering terjadi, para dokter diperkenankan melepaskannya karena prosudurnya sudah ada. Akan tetapi jika cara euthanasia yang ditempuh oleh pasien yang bersangkutan, maka hal itu dianggap sebagai tindakan bunuh diri yang berarti mengingkari rahmat Allah Swt. sebagaimana dalam Q.S an-Nisa/4: 29, yang berbunyi:
....وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29) وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (30)                                                                                                             
Terjemahan:
...Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu.
Dalam kehidupan memang seringkali terjadi hal yang dilematis yang penyelesaiannya betul-betul menimbulkan pertimbangan yang matang seperti halnya tindakan euthanesia ini. Dalam menyelesaikan suatu kesulitan hendaknya menghindari persoalan yang dapat menimbulkan kesulitan baru. Dalam kaidah fikih dikenal ungkapan kesulitan tidak dihilangkan dengan mendatangkan kesulitan  baru.
Jadi jelaslah bahwa Islam tidak membenarkan seseorang yang sakit berkeinginan mempercepat kematiannya. Bahkan berdoa meminta dimatikan pun tidak diperbolehkan. Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengatakan, bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya, organ tubuhnya, ataupun sel-selnya. Diri manusia pada hakikatnya adalah barang titipan yang diberikan Allah, oleh karenanya ia tidak boleh diabaikan, apalagi dilepaskan dari kehidupannya. Islam menghendaki setiap muslim untuk selalu optimis, Islam tidak membenarkan dalam situasi apa pun untuk melepaskan nyawa hanya karena ada musibah yang menimpa atau gagal dalam cita-cita. Seorang mukmin diciptakan justru untuk berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan. Setiap mukmin mempunyai senjata yang tidak bisa meleset, dan mempunyai kekayaan yang tidak bisa habis, yaitu iman dan kekayaan budi.  Sebagai contoh yaitu Nabi Ayyub a.s yang menderita penyakit selama bertahun-tahun, tubuhnya rusak yang selamat pada dirinya hanyalah hatinya. Tetapi walau demikian, Nabi Ayyub tetap tabah dan menerimanya sebagai cobaan dari Allah Swt. keimanannya kepada Allah tidak berkurang sedikitpun, justru beliau semakin rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
2.    Faktor Pihak Keluarga/Wali
Keluarga atau wali yang merasa kasihan atas penderitaan pasien yang cukup lama dan nampak pasien tidak tahan menanggung sakitnya, atau karena faktor keluarga yang tidak mampu lagi memikul beban biaya pengobatan, dan harapan untuk sembuh sudah tidak ada lagi. Pertimbangan seperti ini, maka apabila diselesaikan dengan euthanasia, sementara penderita masih terlihat menyimpan tanda-tanda kehidupan, berarti perbuatan itu tergolong pembunuhan sengaja dan pelakunya diancam oleh Allah Swt dengan azab neraka, sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Q.S an-Nisa/4: 93, yang berbunyi:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا                       

Terjemahan:
Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah neraka jahanam, ia kekal di dalamnya. Allah mengutuknya dan menyediakan baginya siksaan yang pedih.
Pada ayat di atas tidak dibedakan apakah pembunuhan itu didasarkan atas rasa kasihan, karena kekurangan biaya ataupun alasan lainnya, semuanya dilarang oleh Allah, walaupun tindakan itu disertai dengan kerelaan si pasien. Bahkan bilama terbukti didukung oleh keralaan si pasien, maka yang demikian dianggap tindakan bunuh diri dengan meminjam tangan atau melalui bantuan orang lain. Akan tetapi apabila euthanasia dilakukan oleh dokter atas permintaan keluarga tanpa sepengetahuan dan persetujuan pasien, maka inipun termasuk pembunuhan sengaja. Masalah yang timbul adalah apakah pelaku dalam hal ini dokter yang melakukan euthanasia terkena hukuman atau tidak, yang mana si korban sebagai pemilik jiwa, atau keluarga sebagai wali telah merelakan bahkan menganjurkannya. Dalam hal ini syekh Mahmud Syaltut memberikan pembahasan yang ringkas bahwa para fuqaha berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan atau seseorang yang disuruh sendiri oleh si korban atau oleh walinya. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa perintah korban dapat menggugurkan qishash terhadap pelaku, sedangkan perintah wali korban tidak menggugurkan qishash tersebut.
Selanjutnya bertalian dengan masalah persetujuan yang diberikan oleh seorang dokter untuk membantu mempercepat kematian seorang pasien dianggap tidak ada, tetapi dokter yang melakukan euthanasia dianggap melakukan tindakan pidana atau kriminal yang harus dijatuhi hukuman. Hanya saja mengenai jenis hukumannya ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan sebagian ulama Syafi’iyah, bahwa hukuman yang dikenakan terhadap pelaku euthanasia (dengan persetujuan korban) adalah membayar diyat; seratus ekor unta atau seharga itu, dan bukan qishash. Dengan alasan, bahwa persetujuan si korban untuk menjadi obyek euthanasia merupakan syubhat dalam status perbuatannya dan dalam hadis Nabi apabila dalam jarimah hudud (termasuk di dalamnya qishash) terdapat syubhat maka hukuman bisa digugurkan atau diganti. Menurut Zufar dan salah satu pendapat Imam Malik dan sebagian ulama Syafi’iyah, hukuman yang dikenakan kepada pelaku euthanasia tersebut diatas tetap hukuman qishash, karena persetujuan untuk menjadi obyek euthanasia tersebut dianggap tidak pernah ada sehingga persetujuan tersebut tidak ada pengaruhnya sama sekali. Sedangkan menurut Imam Ahmad Bin Hambal dan sebagian ulama Syafi’iyah, bahwa pelaku euthanasia atas persetujuan si korban dibebaskan dari hukuman.
Dari alasan-alasan di atas yang mendorong terjadinya euthanasia, maka tidak ada satupun yang berkaitan dengan alasan bilhaq (kebenaran). Syeih Ahmad Mustafa al-Maraghi menjelaskan bahwa pembunuhan seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab:
1.        Karena pembunuhan oleh seseorang dengan secara lazim dan sengaja.
2.        Orang yang melakukan zina mukhsan yang diketahui oleh empat orang saksi.
3.        Orang yang keluar dari agama Islam (murtad), sebagai suatu sikap menentang ajaran Islam.
Pembunuhan yang dibolehkan oleh Islam hanyalah pembunuhan yang telah dijelaskan di atas, sedangkan euthanasia tidak termasuk dalam jenis ini. Oleh sebab itu, tindakan euthanasia menurut hukum Islam dianggap perbuatan terlarang, hukumnya haram. Penafsiran pembunuhan yang dibolehkan menurut hadis telah dikemukakan oleh Prof. Mahmud Syaltut dalam bukunya Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, bahwa dengan melihat maksud dan tujuannya, pembunuhan yang dibolehkan oleh syariat Islam dapat dirumuskan dalam tiga segi:
1.        Segi pelaksanaan perintah atau kewajiban, seperti pelaksanaan hukuman mati oleh algojo atas perintah atau kewajiban, seperti pelaksanaan hukuman mati oleh algojo atas perintah pengadilan/hakim.
2.        Segi pelaksanaan hak, yang meliputi hak wali si korban untuk melaksanakan qishash, hak penguasa untuk menghukum bunuh perampok/penggangu stabilitas keamanan.
3.        Segi pembelaan, baik terhadap diri, kehormatan, maupun terhadap harta benda.
Dari tiga segi pembunuhan yang dibolehkan yang dikemukakan oleh Prof. Mahmud Syaltut di atas, euthanasia tidak termasuk di dalamnya. Dengan demikian euthanasia jelas dilarang oleh Islam. Adapun apabila dokter mengatakan bahwa penyakit tersebut sudah tidak dapat disembuhkan maka dalam situasi dan kondisi yang demikian tindakan yang dilakukan adalah bersabar dan tawakkal serta berdoa dengan doa yang diajarkan Rasulullah yaitu “Ya Allah hidupkanlah aku selagi kehidupan itu baik bagiku dan matikanlah aku apabila kematian itu baik untukku”
Adapun euthanasia yang dilakukan oleh seorang dokter dalam rangka menyelamatkan ibu yang akan melahirkan dengan jalan mematikan bayi yang dikandungnya, pada saat diketahui proses kelahiran bayi itu mengakibatkan hilangnya nyawa si ibu, ini dibolehkan karena darurat berdasarkan kaidah-kaidah “keadaan darurat dapat membolehkan perbuatan yang dilarang.” Yang dimaksud dengan pengertian darurat di sini menurut ulama Malikiyah adalah kehawatiran akan adanya kerusakan jiwa baik secara meyakinkan atau dugaan. Hal ini menunjukkan bahwa darurat adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa seseorang sehingga dia diperbolehkan melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang.
Jadi Islam membolehkan untuk melakukan euthanasia dengan mengorbankan janin karena menyelamatkan nyawa ibu, nyawa ibu diutamakan mengingat dia merupakan sendi keluarga dan telah mempunyai hak dan kewajiban, baik terhadap tuhan maupun terhadap sesama makluk, sedangkan si janin (bayi) sebelum ia lahir dalam keadaan hidup, ia belum mempunyai hak seperti hak waris dan belum mempunyai kewajiban apapun.

0 komentar:

Posting Komentar

Segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan.