A.
Pengertian Bunuh Diri
Bunuh
diri adalah tindakan mengakhiri hidup sendiri tanpa bantuan aktif orang lain.
Alasan dan motif bunuh diri bermacam-macam, namun biasanya didasari oleh rasa
bersalah yang sangat besar, karena merasa gagal untuk mencapai sesuatu harapan.
Menurut Imam Shalahuddin Al-Jalili bunuh diri merupakan gambaran dari
keputusasaan yang sudah mencapai titik klimaks. Sepertinya, sudah tidak ada
harapan hidup lagi, juga tidak ada kebahagiaan yang bisa diraih, karena itu
bunuh diri sebagai jalan keluarnya.
Bunuh
diri adalah salah satu perbuatan tercela dengan menghakimi diri sendiri secara
berlebihan dan ingin mendahului takdir kematian yang telah ditentukan oleh
Ilahi Robbi dengan usaha bunuh diri dilakukan dengan berbagai cara. Bunuh diri
ini ada unsur pemaksaan kehendak Ilahi, sehingga dirinya melakukan usaha bunuh
diri berarti cenderung menguatkan kehendak nafsu dan egosentris semata, sehingga
akal pikiran yang jernih tidak mampu untuk menganalisa resiko dan akibat dosa
bunuh diri itu sendiri.
B.
Tipe Bunuh Diri
Menurut
Emile Durkheim ada tiga tipe bunuh diri yang didasarkan pada integrasi
sosial (kemampuan individu untuk terikat pada tatanan masyarakat). Tiga tipe bunuh diri itu meliputi: bunuh diri egoistik (egoistic
suicide), bunuh diri altruistik (altruistic suicide), bunuh diri anomik (anomic suicide) dan bunuh diri
fatalistik (fatalistic suicide).
1.
Bunuh diri egoistik (egoistic suicide)
Bunuh diri
egoistik adalah bunuh diri akibat terlalu sedikitnya integrasi sosial yang
dilakukan individu. Maksudnya, individu tidak cukup untuk melakukan pengikatan
diri dengan kelompok sosial. Akibatnya adalah nilai-nilai, berbagai tradisi, norma-norma
serta tujuan-tujuan sosial pun sangat sedikit untuk dijadikan panduan hidupnya.
2.
Bunuh diri altruistik (altruistic suicide)
Bunuh diri ini terjadi akibat hasil
dari integrasi sosial yang terlalu kuat. Individu sedemikian menyatu dengan
kelompok sosial, sehingga kehilangan pandangan terhadap keberadaan
individualitas mereka sendiri. Puncaknya mendorong untuk berkorban demi
kepentingan kelompoknya.
3.
Bunuh
diri anomik (anomic suicide)
Bunuh diri ini terjadi karena adanya
tidak ketidakstabilan dalam kondisi ekonomi dan sosial seperti dengan tiba-tiba
kehilangan pendapatan atau pekerjaan.
4.
Bunuh
diri fatalistik (fatalistic suicide)
Bunuh diri fatalistik merupakan
akbat dari regulasi atau pengaturan yang berjalan secara bersambung dan
berlebihan terhadap kehidupan individu. Di sini individu merasakan hidupnya
tidak berharga karena sedemikian tertindas atau dibatasi ruang geraknya.
Fenomena banyak orang yang mengakhiri hidupnya secara tragis tak terlepas dari
fakta bahwa masyarakat di kota-kota besar mengalami tekanan social atau tekanan
kelompok yang sangat serius.
C.
Bunuh Diri Menurut Pandangan Islam
Bunuh diri menurut Islam sangat
diharamkan, karena sama halnya mendahului ketentuan mati, dimana hidup dan mati
hanya Allah yang mempunyai kuasa untuk hal itu. Apabila seorang mati dengan
cara bunuh diri pasti kelak di akhirat mendapat siksa dan cara matinya pula
tidak di ridhoi Allah, sehingga neraka menjadi tempat kembalinya orang yang
mati dengan cara bunuh diri. Allah berfirman dalam Q.S an-Nisa’/4: 29-30, yang
berbunyi:
....وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29) وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا
فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (30)
Terjemahan:
Janganlah kalian membunuh diri kalian,
sesunguhnya Allah Maha Penyayang. Dan barangsiapa berlaku demikian dan
melanggar hak dan aniaya, maka kami akan memasukannya ke dalam neraka, yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah.
Dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim pula disebutkan bahwa Rasulullah bersabda yang artinya: “telah ada
diantara orang-orang sebelum kamu seorang lelaki yang mendapat luka, lalu
kesahlah ia. Maka ia mengambil pisau lalu memotong tangannya dengan pisau itu
kemudian tidak berhenti darahnya keluar sehingga ia mati. Maka Allah berfirman
hambaku telah menyegerakan kematiannya sebelum aku mematikan, aku mnegharamkan
surga untuknya”
Ayat al-Qur’an dan hadist tersebut di atas dengan jelas
menunjukkan, bahwa bunuh diri itu dilarang keras oleh Islam dengan alasan
apapun. Allah tidak meyukai sikap hidup seseorang yang berputus asa dan berbuat
bunuh diri karena mendahului takdirnya. Sehingga pantaslah, Allah mengharamkan
surga pada orang yang berbuat bunuh diri.
D.
Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa yunani “Euthanatos” yang terbentuk dari kata “eu”
dan “thanatos” yang masing-masing berarti baik dan mati. Jadi euthanasia
artinya membiarkan seorang mati dengan baik. Kata ini juga didefinisi sebagai
pembunuhan dengan belas kasih terhadap orang sakit, luka-luka, atau lumpuh yang
tidak memiliki harapan sembuh, dan didefinisikan pula sebagai pencambutan nyawa
dengan sebisa mungkin tidak menimbulkan rasa sakit seorang pasien yang
menderita penyakit parah dan mengalami kesakitan yang sangat menyiksa. Istilah pertolongan medis adalah agar kesakitan atau
penderitaan yang dialami seorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti
mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat
menjelang kematiannya. Menurut Dr. H. Ali Akbar, euthanasia mempunyai
pengertian:
1.
Kematian
yang mudah dan tanpa sakit.
2.
Usaha
untuk meringankan penderitaan orang yang sekarat dan bila perlu untuk
mempercepat kematiannya.
3.
Keinginan
untuk mati dalam arti baik.
Dari pengertian-pengertian tersebut di atas dapat
disimpulkan, bahwa euthanasia adalah usaha dan bantuan yang dilakukan untuk
mempercepat kematian seseorang yang menurut perkiraan sudah hampir mendekati
kematian, dengan tujuan untuk meringankan atau membebaskannya dari
penderitaannya.
Dilihat dari segi orang yang berkehendak, euthanasia bisa
muncul dari keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan
persetujuan pasien (bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien
(bila pasien sudah tidak sadar). Tetapi tidak pernah ditemukan tindakan euthanasia
yang dikehendaki oleh dokter tanpa persetujuan pasien ataupun pihak keluarga,
karena hal ini berkaitan dengan kode etik kedokteran, yaitu dokter tidaklah diperbolehkan menggugurkan kandungan
(abortus provocatus), dan mengakhiri hidup seseorang pasien yang menurut
ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi.
Dalam dunia medis dikenal dua macam euthanasia, yaitu
euthanasia aktif dan euthanasia pasif.
1.
Euthansia Aktif
Euthanasia aktif yaitu apabila dokter
atau tenaga kesehatan lainnya dengan sengaja melakukan suatu tindakan untuk
mengakhiri hidup pasien. Yang termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini
adalah jika kondisi pasien berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih
menunjukkan adanya harapan hidup. Dengan kata lain, tanda tanda kehidupan masih
terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan. Sebagai contoh
euthanasia aktif, seorang pasien yang dirawat gawat darurat di rumah sakit
dengan peralatan majemuk untuk menolong jantung, pernafasan, dan cairan tubuh,
yang kesemuanya berfungsi dengan baik, namun alat-alat tersebut dihentikan penggunaannya
sehingga jantung dan pernafasan tidak dapat bekerja dan akan berhenti
berfungsi. Atau memberikan obat penenang dengan dosis yang melebihi yang juga
akan menghentikan fungsi jantung. Demikian pula dapat disebut euthanasia aktif,
jika obat-obatan dan segala prosedur lain, digunakan justru untuk menyebabkan
atau mempercepat kematian pasien.
2.
Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif adalah tindakan yang
membiarkan si pasien dalam keadaan tidak sadar tanpa memberikan bantuan medis
sehingga berakibat kematian pada si pasien, karena berdasarkan pengalaman
maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan
tidak terdapat lagi padanya. Sebagai contoh
seorang yang salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah seperti
bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan
darah yang terlalu tinggi, atau tidak berfungsinya jantung dan lain sebagainya.
Euthanasia pada hakikatnya adalah pencabutan nyawa seseorang
yang menderita penyakit parah atas dasar permintaan si pasien atau keluarganya.
Euthanasia masih menimbulkan problem keagamaan, hukum dan moral di semua budaya
dan tradisi keagamaan. Seperti halnya agama-agama lain, Islam menjunjung tinggi
jiwa. Dalam Islam kedudukan jiwa sangat dihargai. Cukup banyak ayat al-Qur’an dan
hadis yang mengharuskan kita untuk menghargai jiwa. Dalam Q.S an-Najm/53: 44, yang berbunyi:
(44) وَأَنَّهُ
هُوَ أَمَاتَ وَأَحْيَا
Terjemahan:
Dan bahwasanya
Dialah yang mematikan dan menghidupkan.
Dalam
Q.S al-Hijr/15: 23, yang berbunyi:
ووَإِنَّا
لَنَحْنُ نُحْيِي وَنُمِيتُ وَنَحْنُ الْوَارِثُونَ (23)
Terjemahan:
Dan
sesungguhnya benar-benar Kamilah yang mnghidupkan dan mematikan dan Kami
pulalah yang mewarisi.
Tindakan merusak ataupun
menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri adalah perbuatan
melawan hukum Allah. Agar supaya manusia tidak memandang remeh terhadap jiwa
manusia, maka Allah memberikan ancaman bagi mereka yang meremehkanya. Begitu
besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, peraturan pidana Islam menetapkam
hukuman mati bagi yang melakukan tindak pidana tertentu dengan tujuan mencegah
terjadinya kejahatan. Dalam Q.S. an-Nisa/4: 93 Allah Swt. berfirman:
وَمَنْ
يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ
اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Terjemahan:
Barang siapa yang membunuh orang mukmin
dengan sengaja maka balasannya ialah neraka jahanam, ia kekal di dalamnya.
Allah mengutuknya dan menyediakan baginya siksaan yang pedih.
Ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa perbuatan membunuh dilarang
keras oleh Islam, azab dan penderitaan yang sangat berat telah disediakan di
akhirat kelak bagi orang yang senantiasa dengan mudahnya membunuh jiwa manusia.
E. Euthanasia Menurut Pandangan Islam
Terjadinya euthanasia tidak terlepas dari
pertimbangan-pertimbangan atau faktor-faktor berikut ini:
1.
Faktor Pihak Pasien
Pasien yang meminta kepada dokter untuk
dilakukan euthanasia karena merasa tidak tahan lagi menderita sakit, atau
karena penyakitnya yang sudah terlalu gawat, atau pertimbangan lain bisa juga
karena pasien tidak ingin meninggalkan beban ekonomi yang terlalu berat bagi
keluarga akibat biaya pengobatan yang mahal, atau pasien sudah merasa bahwa
ajalnya sudah diambang pintu, paling tidak, harapan untuk sembuh terlalu jauh.
Menyikapi pertimbangan-pertimbangan diatas, menunjukkan bahwa ini semua adalah
suatu refleksi dari kelemahaan iman. Sakit adalah satu satu bentuk ujian
kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan dengan mengakhiri
kehidupaan melalui euthanasia. Kalaupun pandangan medis bahwa pasien tidak
dapat disembuhkan, atau biaya pengobatannya yang makin bertambah mahal, maka
tidaklah salah kalau ia meminta pulang dari rumah sakit, bilamana diyakini
apabila pengobatan dihentikan, ia akan meninggal dunia, tindakan keluar dari
rumah sakit atau penghentian pengobatan tidak berarti bunuh diri. Pemulangan
seperti ini sudah sering terjadi, para dokter diperkenankan melepaskannya
karena prosudurnya sudah ada. Akan tetapi jika cara euthanasia yang ditempuh
oleh pasien yang bersangkutan, maka hal itu dianggap sebagai tindakan bunuh
diri yang berarti mengingkari rahmat Allah Swt. sebagaimana dalam Q.S
an-Nisa/4: 29, yang berbunyi:
....وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29) وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا
فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا (30)
Terjemahan:
...Dan
janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu.
Dalam kehidupan memang seringkali
terjadi hal yang dilematis yang penyelesaiannya betul-betul menimbulkan
pertimbangan yang matang seperti halnya tindakan euthanesia ini. Dalam
menyelesaikan suatu kesulitan hendaknya menghindari persoalan yang dapat
menimbulkan kesulitan baru. Dalam kaidah fikih dikenal ungkapan kesulitan tidak
dihilangkan dengan mendatangkan kesulitan
baru.
Jadi jelaslah bahwa Islam tidak
membenarkan seseorang yang sakit berkeinginan mempercepat kematiannya. Bahkan
berdoa meminta dimatikan pun tidak diperbolehkan. Dr. Yusuf Al-Qardhawi
mengatakan, bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia
tidak dapat menciptakan dirinya, organ tubuhnya, ataupun sel-selnya. Diri
manusia pada hakikatnya adalah barang titipan yang diberikan Allah, oleh
karenanya ia tidak boleh diabaikan, apalagi dilepaskan dari kehidupannya. Islam
menghendaki setiap muslim untuk selalu optimis, Islam tidak membenarkan dalam
situasi apa pun untuk melepaskan nyawa hanya
karena ada musibah
yang menimpa atau gagal dalam cita-cita. Seorang mukmin
diciptakan justru untuk berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan. Setiap
mukmin mempunyai senjata yang tidak bisa meleset, dan mempunyai kekayaan yang
tidak bisa habis, yaitu iman dan kekayaan budi. Sebagai contoh yaitu Nabi Ayyub a.s yang
menderita penyakit selama bertahun-tahun, tubuhnya
rusak yang selamat pada dirinya hanyalah hatinya.
Tetapi walau demikian, Nabi Ayyub tetap tabah dan menerimanya sebagai cobaan
dari Allah Swt. keimanannya kepada Allah tidak berkurang sedikitpun, justru beliau
semakin rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
2.
Faktor Pihak Keluarga/Wali
Keluarga atau wali yang merasa kasihan atas penderitaan
pasien yang cukup lama dan nampak pasien tidak tahan menanggung sakitnya, atau
karena faktor keluarga yang tidak mampu lagi memikul beban biaya pengobatan,
dan harapan untuk sembuh sudah tidak ada lagi. Pertimbangan seperti ini, maka
apabila diselesaikan dengan euthanasia, sementara penderita masih terlihat
menyimpan tanda-tanda kehidupan, berarti perbuatan itu tergolong pembunuhan
sengaja dan pelakunya diancam oleh Allah Swt dengan azab neraka, sebagaimana
Allah Swt. berfirman dalam Q.S an-Nisa/4: 93, yang berbunyi:
وَمَنْ
يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ
اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Terjemahan:
Terjemahan:
Barang siapa
yang membunuh orang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah neraka jahanam,
ia kekal di dalamnya. Allah mengutuknya dan menyediakan baginya siksaan yang
pedih.
Pada ayat di atas tidak dibedakan
apakah pembunuhan itu didasarkan atas rasa kasihan, karena kekurangan biaya
ataupun alasan lainnya, semuanya dilarang oleh Allah, walaupun tindakan itu
disertai dengan kerelaan si pasien. Bahkan bilama terbukti didukung oleh
keralaan si pasien, maka yang demikian dianggap tindakan bunuh diri dengan
meminjam tangan atau melalui bantuan orang lain. Akan tetapi apabila euthanasia
dilakukan oleh dokter atas permintaan keluarga tanpa sepengetahuan dan
persetujuan pasien, maka inipun termasuk pembunuhan sengaja. Masalah yang
timbul adalah apakah pelaku dalam hal ini dokter yang melakukan euthanasia
terkena hukuman atau tidak, yang mana si korban sebagai pemilik jiwa, atau
keluarga sebagai wali telah merelakan bahkan menganjurkannya. Dalam hal ini
syekh Mahmud Syaltut memberikan pembahasan yang ringkas bahwa para fuqaha
berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan atau seseorang yang disuruh sendiri
oleh si korban atau oleh walinya. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa
perintah korban dapat menggugurkan qishash terhadap pelaku, sedangkan perintah
wali korban tidak menggugurkan qishash tersebut.
Selanjutnya bertalian dengan masalah
persetujuan yang diberikan oleh seorang dokter untuk membantu mempercepat
kematian seorang pasien dianggap tidak ada, tetapi dokter yang melakukan
euthanasia dianggap melakukan tindakan pidana atau kriminal yang harus dijatuhi
hukuman. Hanya saja mengenai jenis hukumannya ulama berbeda pendapat. Menurut
Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, dan sebagian ulama Syafi’iyah,
bahwa hukuman yang dikenakan terhadap pelaku euthanasia (dengan persetujuan
korban) adalah membayar diyat; seratus ekor unta atau seharga itu, dan bukan
qishash. Dengan alasan, bahwa persetujuan si korban untuk menjadi obyek
euthanasia merupakan syubhat dalam status perbuatannya dan dalam hadis Nabi
apabila dalam jarimah hudud (termasuk di dalamnya qishash) terdapat syubhat maka
hukuman bisa digugurkan atau diganti. Menurut Zufar dan salah satu pendapat
Imam Malik dan sebagian ulama Syafi’iyah, hukuman yang dikenakan kepada pelaku
euthanasia tersebut diatas tetap hukuman qishash, karena persetujuan untuk
menjadi obyek euthanasia tersebut dianggap tidak pernah ada sehingga
persetujuan tersebut tidak ada pengaruhnya sama sekali. Sedangkan menurut Imam
Ahmad Bin Hambal dan sebagian ulama Syafi’iyah, bahwa pelaku euthanasia atas
persetujuan si korban dibebaskan dari hukuman.
Dari alasan-alasan di atas yang
mendorong terjadinya euthanasia, maka tidak ada satupun yang berkaitan dengan
alasan bilhaq (kebenaran). Syeih Ahmad Mustafa al-Maraghi menjelaskan bahwa
pembunuhan seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari tiga
sebab:
1.
Karena pembunuhan oleh seseorang dengan
secara lazim dan sengaja.
2.
Orang yang melakukan zina mukhsan yang
diketahui oleh empat orang saksi.
3.
Orang yang keluar dari agama Islam
(murtad), sebagai suatu sikap menentang ajaran Islam.
Pembunuhan yang dibolehkan oleh Islam
hanyalah pembunuhan yang telah dijelaskan di atas, sedangkan euthanasia tidak
termasuk dalam jenis ini. Oleh sebab itu, tindakan euthanasia menurut hukum
Islam dianggap perbuatan terlarang, hukumnya haram. Penafsiran pembunuhan yang dibolehkan menurut hadis telah
dikemukakan oleh Prof. Mahmud Syaltut dalam bukunya Al-Islam Aqidah wa
Syari’ah, bahwa dengan melihat
maksud dan tujuannya, pembunuhan yang dibolehkan oleh syariat Islam dapat
dirumuskan dalam tiga segi:
1.
Segi pelaksanaan perintah atau
kewajiban, seperti pelaksanaan hukuman mati oleh algojo atas perintah atau
kewajiban, seperti pelaksanaan hukuman mati oleh algojo atas perintah
pengadilan/hakim.
2.
Segi pelaksanaan hak, yang meliputi hak
wali si korban untuk melaksanakan qishash, hak penguasa untuk menghukum bunuh
perampok/penggangu stabilitas keamanan.
3.
Segi pembelaan, baik terhadap diri,
kehormatan, maupun terhadap harta benda.
Dari tiga segi pembunuhan yang
dibolehkan yang dikemukakan oleh Prof. Mahmud Syaltut di atas, euthanasia tidak
termasuk di dalamnya. Dengan demikian euthanasia jelas dilarang oleh Islam.
Adapun apabila dokter mengatakan bahwa penyakit tersebut sudah tidak dapat
disembuhkan maka dalam situasi dan kondisi yang demikian tindakan yang
dilakukan adalah bersabar dan tawakkal serta berdoa dengan doa yang diajarkan
Rasulullah yaitu “Ya Allah hidupkanlah aku selagi kehidupan itu baik bagiku dan
matikanlah aku apabila kematian itu baik untukku”
Adapun euthanasia yang dilakukan oleh
seorang dokter dalam rangka menyelamatkan ibu yang akan melahirkan dengan jalan
mematikan bayi yang dikandungnya, pada saat diketahui proses kelahiran bayi itu
mengakibatkan hilangnya nyawa si ibu, ini dibolehkan karena darurat berdasarkan
kaidah-kaidah “keadaan darurat dapat membolehkan perbuatan yang dilarang.”
Yang dimaksud dengan pengertian darurat di sini menurut ulama Malikiyah adalah
kehawatiran akan adanya kerusakan jiwa baik secara meyakinkan atau dugaan. Hal ini menunjukkan bahwa darurat adalah suatu keadaan
yang mengancam jiwa seseorang sehingga dia diperbolehkan melakukan sesuatu
perbuatan yang dilarang.
Jadi Islam membolehkan untuk melakukan
euthanasia dengan mengorbankan janin karena menyelamatkan nyawa ibu, nyawa ibu
diutamakan mengingat dia merupakan sendi keluarga dan telah mempunyai hak dan
kewajiban, baik terhadap tuhan maupun terhadap sesama makluk, sedangkan si
janin (bayi) sebelum ia lahir dalam keadaan hidup, ia belum mempunyai hak
seperti hak waris dan belum mempunyai kewajiban apapun.
0 komentar:
Posting Komentar
Segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan.