A.
Pengertian
Masail Al
- Fiqhiyyah Al - Haditshah
Masail merupakan Jama’ taksir
dalam bahasa Arab dari kata masalah; yang artinya perkara (persoalan). Fiqih artinya pemahaman yang mendalam tentang hukum-hukum
Islam. Jadi rangkaian kata Masail Al-Fiqih, berarti persoalan hukum Islam yang
selalu dihadapi oleh umat Islam, sehingga mereka beraktifitas dalam kehidupan
sehari-hari, selalu bersikap dan berperilaku sesuai dengan tuntunan Islam.
Masail Fiqhiyyah dalam buku Dr.
H. Mahjuddin, M. Pd. I tentang Kasus-Kasus Aktual dalam Hukum Islam bahwa hukum
yang menyangkut masalah baru, yang tidak pernah dikaji dalam kitab klasik, itu
diberi Istilah Masail Fiqhiyyah al-Haditshah yaitu persoalan hukum Islam yang
baru. Sedangkan Masail Fiqhiyyah al-Asriyah (persoalan hukum Islam kekinian)
dan Masail Fiqhiyyah al-Waqi’yyah (persoalan hukum Islam yang aktual).
Dari sumber
lain juga menjelaskan bahwa secara istilah Masail Fiqhiyyah al-Haditshah adalah
persoalan-persoalanIslam baru al-waqi’iyyah (faktual) yang bertalian dengan
masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fiqh) dan dipertanyakan oleh umat
jawaban hukumnya karena secara eksplisit permasalahan tersebut tidak tertuang
secara terperinci di dalam sumber-sumber hukum Islam dan juga merupakan
persoalan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah Saw. maupun sahabatnya.
Jadi, Masail Fiqhiyyah al-Hadithah merupakan ilmu tentang
masalah-masalah baru yang muncul setelah turunnya Al-Qur’an dan Hadist dan
setelah wafatnya Rasulullah Saw. yang belum ada ketentuan hukum secara pasti,
sehingga dalam mencari jawabannya memerlukan kesepakatan para ulama dalam
menentukan hukum yang diambil dari Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas.
B.
Ruang Lingkup Masail Al
- Fiqhiyyah Al - Haditshah
Hukum-hukum fiqih mencakup
segala aspek kehidupan manusia memenuhi segala permasalahan hidup. Maka
masalah-masalah fiqih dalam garis besarnya, dibagi dua:
1.
Ibadat, yaitu segala persoalan yang berkaitan dengan urusan akhirat atau
urusan hamba dengan Tuhannya. Jelasnya segala perbuatan yang dikerjakan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, seperti : shalat, puasa, zakat, dan haji itu
bersifat ta’abbudi. Karenanya segala hukumnya bersifat tetap untuk sepanjang
masa dan untuk setiap masyarakat, tidak berubah-ubah.
2.
Mu’amalat, yaitu segala persoalan yang berpautan dengan urusan-urusan dunia
dan undang-undang. Bagian yang kedua ini dibagi pula dalam beberapa
bagian-bagian besar diantaranya: (1) Bagian ‘uqubat, yaitu tentang
perbuatan-perbuatan pidana seperti membunuh, mencuri, minum arak, dan menukas
(menuduh tanpa alasan yang cukup); dan melengkapi hukum-hukum siksa, seperti
qisas, had dan diyat. (2) Bagian munakahat (yang terkenal sekarang dengan nama
ahwal syakhshiah) yaitu tentang perkawinan, perceraiaan, dan hal-hal yang bersangkutan
dengannya, seperti ‘idah (waktu menunggu), nafakah (tanggungan hidup) dan
hadlanah (melakukan pemeliharaan anak). (3) Bagian mu’amalat, menjelaskan soal-soal harta, seperti jual beli, sewa
menyewa, pinjam meminjam, gadai menggadai dan sebagainya.
Adapun ruang lingkup Masail Fiqhiyyah al-Hadithah meliputi:
1. Hubungan Manusia dengan Allah Swt.
Ilmu fiqih mengatur tentang ibadah yaitu ibadah mahdzah dan ghairu
mahdzah. Ibadah mahdzah adalah ajaran agama yang mengatur perbuatan-perbuatan
manusia yang murni mencerminkan hubungan manusia itu dengan sang pencipta yaitu
Allah Swt. Sedangkan ibadah ghairu mahdzah adalah ajaran agama yang mengatur
perbuatan antar manusia itu sendiri serta manusia dengan lingkungan.
Salah satu contoh masail fiqhiyyah yang berhubungan
dengan ibadah yaitu hukum fiqih menyikapi shalat
jum’at lebih dari satu tempat (ta’adud al jum’at). Pada zaman sekarang dalam
pelaksanaan shalat jum’at sering memunculkan beberapa fenomena menarik. Semisal
atauran lokasi pelaksanaan shalat jum’at yang menurut sebagian kalangan harus
terpusat disatu tempat. Hal ini terkadang menimbulkan masalah disaat keadaan
menuntut sebagian masyarakat membuat lokasi alternatif. Mungkin anggapan mereka
hal itulah yang terbaik dengan alasan kondisi pemukiman, kapasitas tempat
peribadatandan interaksi sosial di tengah-tengah mereka adalah faktor-faktor
potensial pemicu kejadian semacam itu. Menyikapi perkembangan tersebut,
mayoritas ulama secara tegas menghukumi wajib melakukan shalat jum’at dalam
sebuah balad atau qaryah. Al-Syafi’i dalam hal ini berpendapat bahwa shalat
jum’at jelas tidak diperkenankan lebih dari satu tempat, baik ada hajat atau
tidak. Namun istinbath (penggalian) dari ulama syafi’iayyah dalam permasalahan
ini akhirnya memperbolehkan dengan batas hajat tertentu. Yaitu apabila ada
faktor kesulitan yang diluar batas kemampuan. Semisal konflik masyarakat dalam
satu daerah, atau tempat sholat terbatas yang tidak dapat menampung satu
masyarakat di daerah tersebut maka disitulah ta’adud al-jum’at di perbolehkan.
2. Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia
Sebagai salah satu contoh masail fiqhiyyah yang mengatur
hubungan manusia dengan sesama manusia yaitu mendonorkan organ tubuh. Pendapat
pertama mengatakan transpalantasi seperti hukumnya haram, meskipun pendonoran
tersebut untuk keperluan medis bahkan sekalipun telah sampai kepada kondisi
darurat. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt. dalam Q.S An-Nisa/4: 29, yang
berbunyi:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا
أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Terjemahan:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali
perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.
Kelompok kedua berpendapat
bahwa transplantasi hukumnya jaiz (boleh) namun memiliki syarat-syarat
tertentu, diantaranya adalah: adanya kerelaan dari si pendonor, kondisi si
pendonor harus sudah baligh dan berakal, organ yang didonorkan bukan organ
vital yang menentukan kelangsungan hidup seperti jantung dan paru-paru serta
merupakan jalan terakhir yang memungkinkan untuk mengobati orang yang menderita
penyakit tersebut. Pendapat ini berlandaskan firman Allah Swt. dalam Q.S
Al-An’am/6: 119, yang berbunyi:
وَمَا لَكُمْ
أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ
مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا
لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُعْتَدِينَ
Terjemahan:
Dan mengapa kamu tidak mau memakan dari apa (daging
hewan) yang (ketika disembelih) disebut nama Allah, padahal Allah telah
menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam
keadaan terpaksa. Dan sungguh banyak yang menyesatkan orang dengan keinginannya
tanpa dasar pengetahuan. Tuhanmu lebih mengetahui orang-orang yang melampaui
batas.
Dari fatwa Majelis Ulama
Indonesia menyatakan bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih
baik, maka pengambilan organ tubuh orang yang sudah meninggal untuk kepentingan
orang yang masih hidup dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada izin
dari yang bersangkutan dan izin dari keluarga atau ahli waris.
3.
Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri
Contoh masail fiqhiyyah yang
mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri yaitu tentang hukum rebonding.
Rebonding adalah meluruskan rambut agar rambut jatuh lebih lurus dan lebih
indah. Prosesnya dua tahap. Pertama, rambut diberi krim tahap pertama untuk membuka
ikatan protein rambut. Kemudian rambut dicatok, yaitu diberi perlakuan seperti
di setrika dengan alat pelurus rambut bersuhu tinggi. Kedua, rambut diberi krim
tahap kedua untuk mempertahankan pelurusan rambut.
Proses rebonding melibatkan
proses kimiawi yang mengubah struktur protein dalam rambut. Proses rebonding
menghasilkan perubahan permanen pada rambut yang terkena aplikasi. Namun rambut
baru yang tumbuh dari akar rambut akan tetap mempunyai bentuk rambut yang asli.
Jadi, rebonding bukan pelurusan rambut biasa yang hanya menggunakan perlakuan
fisik, tapi juga menggunakan perlakuan kimiawi yang mengubah struktur protein
dalam rambut secara permanen. Inilah fakta rebonding.
Pendapat pertama memfatwakan
rebonding itu hukumnya haram, karena termasuk dalam proses mengubah ciptaan
Allah yang telah diharamkan oleh nash-nash syara’. Pendapat ini berlandaskan firman
Allah Swt. dalam Q.S. An-Nisa/4: 119 yang berbunyi:
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ
وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ
وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَتَّخِذِ
الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
Terjemahan:
Dan aku
benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong
pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak),
lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah
ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya". Barangsiapa
yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia
menderita kerugian yang nyata.
Ayat ini menunjukkan bahwa
mengubah ciptaan Allah adalah haram. Mengubah ciptaan Allah didefinisikan mengubah sifat sesuatu sehingga
seakan-akan ia menjadi sesuatu yang lain atau dapat berarti menghilangkan
sesuatu itu sendiri. Dari defenisi tersebut, berarti rebonding termasuk dalam
mengubah ciptaan Allah karena rebonding telah mengubah struktur protein dalam
rambut secara permanen sehingga mengubah sifat atau bentuk rambut asli menjadi
sifat atau bentuk rambut yang lain. Dengan demikian hukum rebonding adalah
haram.
Selain dalil di atas, keharaman
rebonding juga didasarkan pada dalil qiyas. Dalam hadist Nabi Saw. diriwayatkan
oleh Ibnu Mas’ud r.a, Rasulullah Saw. bersabda:
لَعَنَ
اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ
وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ
Artinya:
Allah melaknat wanita yang mentato dan yang meminta
ditato, yang mencabut bulu alis dan yang minta dicabutkan bulu alisnya, serta
wanita yang merenggangkan giginya untuk kecantikan, mereka telah mengubah
ciptaan Allah.” (HR. Bukhari).
Sebagian ulama telah
menyimpulkan adanya illat dalam hadist tersebut sehingga mereka mengambil
kesimpulan dengan jalan Qiyas, yaitu mengharamkan segala perbuatan yang
memenuhi dua unsur illat hukum, yaitu mengubah ciptaan Allah dan mencari
kecantikan. Abu Ja’far Ath-Thabari berkata dalam hadist terdapat dalil “bahwa
wanita tidak boleh mengubah sesuatu atas sifat pada sesuatu itu dengan menambah
atau mengurangi, untuk mencari kecantikan, baik untuk suami maupun untuk selain
suami.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, 10/156; Ibnu Hajar, Fathul Bari, 17/41;
Tuhfarul Ahwadzi, 7/91).
Kemudian pendapat kedua, adapun
meluruskan atau mengeriting rambut tanpa perlakuan kimiawi yang mengubah
struktur protein rambut secara permanen, yakni hanya menggunakan perlakuan
fisik, seperti menggunakan rol plastik dan yang semisalnya, hukumnya boleh.
Sebab tidak termasuk mengubah ciptaan Allah, tetapi termasuk tazayyun (berhias)
yang dibolehkan bahkan dianjurkan syara’dengan syarat tidak boleh ditampakkan
kepada yang bukan mahrom. Menurut MUI, hukum meluruskan rambut atau rebonding
tergantung dari tujuan dan dampaknya. “Jika tujuan dan dampaknya negatif maka
haram. Sebaliknya jika tujuan dan dampaknya positif maka diperbolehkan, bahkan
dianjurkan” kata wakil sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am shaleh di
Jakarta.
4.
Hubungan manusia dengan alam sekitar
Islam menekankan umatnya untuk
menjaga kelestarian lingkungan dan berlaku arif terhadap alam (ecology wisdom).
Akan tetapi, doktrin tersebut tidak diindahkan. Perusakan lingkungan tidak
pernah berhenti. Eksplorasi alam tidak terukur dan makin merajalela. Dampaknya
ekosistem alam menjadi tidak stabil, dan pada akhirnya akan menjadi ancaman
yang serius.
Fiqih belum mampu menjadi jembatan yang mengantarkan
norma Islam kepada perilaku umat yang sadar lingkungan. Sampai saat ini belum
ada fiqh yang secara komprehensif dan tematik berbicara tentang persoalan
lingkungan. Fiqih-fiqih klasik yang ditulis para imam mazhab hanya berbicara
persoalan ibadah, mu’amalah, jinayah, munakahat dan lain sebagainya. Sementara,
persoalan lingkungan (ekologi) tidak mendapat tempat proporsional dalam
khazanah Islam klasik. Karena itulah, merumuskan sebuah fiqih lingkungan (fiqih
al-bi’ah) menjadi sebuah kebutuhan yang sangat penting, sebuah fiqih yang
menjelaskan aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks
syar’i dengan tujuan mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.
Di kalangan NU masail fiqhiyyah
dibahas dalam forum khusus yang disebut Bahtsul Masail. Lembaga Bahtsul Masail
diniyah (lembaga masalah-masalah keagamaan) di lingkungan NU adalah sebuah
lembaga yang ,emberikan fatwa-fatwa hukum keagamaan kepada umat Islam.
Rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar dalam penetapan
hukum adalah:
a. Tidak boleh merusak akidah.
b. Tidak boleh mengurang/menghilangkan martabat manusia.
c. Tidak boleh mendahulukan kepentingan perorangan atas
kepentingan umum.
d. Tidak boleh mengutamakan hal-hal yang masih samar-samar
kemanfaatannya atas hal-hal yang sudah nyata kemanfatannya.
e. Tidak boleh melanggar ketentuan dasar akhlaq al-karimah
(moralitas manusi).
C.
Tujuan
Mempelajari Masail Al - Fiqhiyyah Al - Haditshah
Masail fiqhiyyah al-hadithah
termasuk ilmu yang menghubungkan suatu hukum dengan hukum lainnya yang belum
ada nashnya dan didasari atas kumpulan hasil pemahaman para mujtahid terhadap
Al-Qur’an dan Hadist.
Dengan lahirnya masail
fiqhiyyah al-hadithah atau persoalan-persoalan kontemporer, baik yang sudah
terjawab maupun sedang diselesaikan bahkan prediksi munculnya persoalan baru
mendorong kaum muslimin belajar dengan giat mentelaah berbagai metodologi
penyelesaiaan masalah mulai dari metode ulama klasik sampai metode ulama
kontenporer.
Dari penjelasan di atas maka
tujuan dari masail fiqhiyyah secara umum adalah untuk menjawab dan
menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat di
kehidupan modern yang sering kali jadi pertanyaan-pertanyaan sehingga
membutuhkan jawaban-jawaban logis tentang kepastian hukum. Sedangkan tujuan
khususnya yaitu bagi kita calon-calon pendidik adalah agar nantinya ketika
mengajar kita sudah siap dan dapat menjawab dan menyelesaikan
permasalahan-permasalahan serta pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul dari
peserta didik.
Tujuan lain dari adanya masail
fiqhiyyah adalah:
1.
Sebagai sebuah disiplin ilmu, masail fiqhiyyah termasuk bidang studi yang
paling banyak mengandung perdebatan, nuansa dan sekaligus keuntungan. Semua itu
akan menjadi hikmah dan rahmat, manakala disikapi secara adil, obyektif,
kritis, dan dinamis.
2.
Adanya ilmu masail fiqhiyyah ini menunjukkan kepedulian yang kuat dan
mendalam dari kalangan para ahli hukum Islam untuk memberikan jawaban terhadap
berbagai masalah yang berkembang.
3.
Berbagai jawaban yang mereka diberikan itu dapat digunakan sebagai
bahan perbandingan dan menambah
memperkaya khazanah intelektual.
4.
Ilmu masail fiqhiyyah juga menunjukkan adanya kebebasan berfikir secara
tanggung jawab di kalangan umat Islam dan sekaligus toleransi dan kedewasaan
sikap dalam menghadapi berbagai perbedaan pendapat.
5.
Dengan keilmuan masail fiqhiyyah diharapkan mampu memahami dengan baik
tentang problema-problema yang timbul dalam Fiqih Islam, memberikan kemampuan
untuk membahas dan memecahkan masalah-masalah fiqh yang aktual dan
memasyarakatkannya dengan pendekatan yang luas, tidak hanya terfokus pada
teks-teks fiqh klasik, akan tetapi juga pada pendekatan-pendekatan rasional.
0 komentar:
Posting Komentar
Segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan.