MEMAHAMI IJTIHAD

 A.    Pengertian Ijtihad

Secara bahasa, ijtihad berarti bersungguh-sungguh dengan mencurahkan segenap tenaga. Sedangkan menurut istilah, Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk memperoleh hukum syara’ amali melalui argumentasi terperinci. Menurut Asy-Syaukani, ijtihad adalah adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasianal dengan cara istimbat (mengambil kesimpulan hukum). Menurut sebagian ulama ushul fiqih, ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan oleh seorang faqih atau mujtahid untuk memperoleh dengan kuat mengenai hukum syara’. Bagi Ibnu Hazm, ijtihad diartikan sebagai pengerahan segala ketentuan untuk mencari hukum suatu peristiwa dalam nash Al-Qur’an atau hadis shahih.

Jadi dapat dismpulkan bahwa yang dimaksud ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk menentukan atau menyimpulkan hukum syara’ yang maknanya tersirat dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun dalam pengertiannya kita harus mampu membedakan antara ijma’, ijtihad, dan Mujtahid. Ijma adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum syara’. Ijtihad adalah usaha atau proses yang dilaksanakan dalam menentukan hukum syara’. Sedangkan mujtahid adalah orang yang melaksanan Ijthad hukum syara’.

 

B.     Hukum Berijitihad

1.      Fardhu ‘ain; bagi orang yang bertanggung jawab memberikan keputusan atas suatu peristiwa yang terjadi dan dikhawatirkan peristiwa itu hilang sebelum ada hukumnya, atau ia mengalami suatu peristiwa yang belum ia ketahui hukumnya.

2.      Fardhu Khifayah; apabila seorang ditanyai tentang hukum suatu masalah yang mana masalah itu tidak hilang walaupun hukumnya belum diketahui, dan masih ada  mujtahid lain yang menyelesaikan hukum tersebut, sehingga kewajiban individu menjadi gugur.

3.      Sunnah; melakukan ijtihad hukumnya sunnah terhadap masalah yang belum terjadi, baik karena ditanya ataupun tidak ditanya.

 

C.    Peranan Ijtihad

Ijtihad memilik peranan yang sangat penting dalam menentukan kejelasan hukum suatu masalah. Oleh karena itu kedudukan ijtihad dalam hukum Islam sangat kuat. Adapun masalah-masalah yang bisa menjadi sasaran ijtihad adalah:

1.      Masalah-masalah yang telah ada nasnya namun tidak tegas dan tidak pasti keberadaan dan penunjukkan hukumnya.

2.      Masalah-masalah yang telah ada nasnya secara tegas dan pasti, namun kurang tegas penunjukkan hukumnya terhadap masalah yang dicari. Misalnya masalah iddah bagi wanita yang dicerai. Dalil ini sudah jelas “tsalasaa quru’in” (QS. al-Baqarah/2: 228). Namun, penunjukkan hukumnya bersifat zanni karena lafal quru’in termasuk lafal musytarak (mengandung lebih dari satu arti), yaitu suci dan haid. Itulah sebabnya terdapat dua penafsiran, ada ulama yang berpendapat iddah wanita yang dicerai itu tiga kali suci, dan ada ulama yang lain yang berpendapat, iddahnya tiga kali haid.

3.      Masalah-masalah yang telah ada nasnya yang zanni dan tegas penunjukkan hukumnya. Hal ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi hanya terdapat dalam hadis. Maka ijitihad dilakukan untuk mengkaji sanad dan matannya untuk menetapkan sahih atau tidak hadis tersebut.

4.      Masalah-masalah yang tidak ada nasnya dan belum tercapai ijma’ tentang hukumnya. Inilah yang disebut dengan ijtihad dengan ra’yu. Maka ijtihad dilakukan untuk menemukan atau menggali hukumnya melalui metode qiyas, istishan, istishab, maslahah mursalah, urf, dan lain-lain.

 

D.    Macam-macam Ijtihad

1.      Dari sudut pandang sarana pengambilannya

a.       Ijtihad bir ra’yi, yaitu memunculkan segala kesanggupan untuk mewujudkan hukum yang terjadi yang belum ada nasnya melalui proses pemikiran dengan menggunakan akal dalam istimbat hukum untuk memperoleh keputusan hukum syara’.

b.      Ijithad bil aqli, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan memperhatikan maksud syara’  dalam menetapkan hukum.

c.       Ijithad bil qiyasi, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara penggalian ‘illat (motif) hukum untuk ditetapkan pada hukum furu’, karena ‘illat itu telah ada pada hukum pokok (asl)

d.      Ijtihad bil ijtihad, yaitu ijtihad yang mencakup ketiga ijtihad di atas, sehingga ijtihad ini lebih mengarah pada keputusan ijma’ walaupun ijma’ lebih kuat daripada keputusan ijtihad

2.      Dari sudut pandang prosedurnya

a.       Ijtihad bayani, yaitu menjelaskan hukm syara’ dari nas-nas syar’i.

b.      Ijtihad qiyasi, yaitu meletakkan hukm-hukum syara’ untuk kasus yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan jalan menggunakan qiyas (analogi) atas apa yang terdapat dalam nas-nas hukum syar’i.

c.       Ijtihad istislahi, yaitu menetapkan hukum syara’ dengan menggunakan ra’yu yang didasarkan atas kemaslahatan umum untuk kasus yang terjadi, yang tida ada penjelasan secara rinci dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

 

E.     Syarat-syarat Mujtahid

1.      Menguasai Al-Qur’an dan hadis.

2.      Menguasai ilmu kebahasaan.

3.      Mengetahui nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an.

4.      Mengetahui sunnah-sunnah Rasulullah saw.

5.      Mengetahui tempat-tempat ijma’ dan khilafiyah ulama.

6.      Mengetahui qiyas dan problematikanya.

7.      Mengetahui tujuan hukum syara’.

8.      Adanya kesholehan, kefahaman, dan berkompetensi tinggi.

9.      Ketulusan niat dan keselamatan itikadnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan.